Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
JIKA ada yang meminta kita untuk merangkum lima tahun terakhir kepemimpinan Presiden Joko Widodo dalam satu kata, barangkali tidak sedikit yang akan menjawab “hilirisasi”, kebijakan unggulan presiden yang sering kali digaungkan dalam berbagai kesempatan. Selain menjadi salah satu agenda utama presiden, hilirisasi juga memperoleh banyak dukungan dari berbagai elemen masyarakat. Hilirisasi mampu merebut simpati banyak masyarakat Indonesia yang sejak lama merasa bahwa nilai tambah dari kekayaan sumber daya alam Indonesia hanya dikuasai asing, sedangkan Indonesia hanya mampu menonton di pinggir lapangan saat kekayaan tersebut dikeruk dan dikapalkan ke negara lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Alasan lain tingginya dukungan masyarakat atas hilirisasi adalah dampak positif terhadap ekonomi. Pada 2019 sebelum larangan ekspor diterapkan, nilai ekspor bijih nikel di Indonesia hanyalah sebesar US$ 1 miliar. Pada 2022, angka ekspor produk turunan dari nikel melonjak melebihi US$ 33 miliar. Daerah-daerah pusat hilirisasi juga mengalami pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) yang menakjubkan. Sulawesi Tengah dan Maluku Utara, misalnya, mencatatkan pertumbuhan sebesar 15 persen dan 23 persen pada 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Namun, hilirisasi bukannya tanpa cela. Terlepas dari dampak positifnya dari segi makroekonomi, sebagian pihak mengkritik kegagalan hilirisasi dalam memberikan dampak positif terhadap masyarakat lokal. Mereka beranggapan bahwa masyarakat justru kian menghadapi ketimpangan ekonomi, kemiskinan yang berkepanjangan, dan kerusakan lingkungan di tengah hilirisasi.
Terlepas dari kritik di atas, data objektif yang lebih komprehensif justru berkata sebaliknya. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terjadinya perbaikan taraf hidup di Kabupaten Morowali yang merupakan salah satu sentra kawasan hilirisasi nikel. Kemiskinan secara bertahap menurun di Morowali, dari 13,75 persen pada 2019 menjadi 12,58 persen pada 2022. Walaupun tidak pesat, namun angka tersebut tetap menunjukkan penurunan kemiskinan setelah hilirisasi digalakkan meski perekonomian sempat diterpa pandemi. Rerata upah penduduk usia kerja di Morowali juga meningkat hampir 10 kali lipat dari sekitar Rp 400 ribu pada 2019 menjadi sekitar Rp 4 juta per bulan pada 2022.
Meskipun situasinya tidak seburuk yang digambarkan sebagian pengamat, bukan berarti tidak ada ruang untuk pengembangan dan perbaikan dalam agenda hilirisasi. Sebagian besar investor hilirisasi masih merupakan investor asing yang mengirimkan sebagian besar keuntungannya ke negara asal dan cenderung memberikan pekerjaan dengan keahlian tinggi kepada pekerja dari negara asal mereka. Selain itu, investor asing juga mempertahankan teknologinya yang sulit dikuasai oleh perusahaan domestik.
Dalam jangka pendek, tentu saja Indonesia membutuhkan investasi asing. Investor asing memiliki teknologi dan modal yang dibutuhkan untuk pembangunan industri hilir. Menutup diri dari investasi asing hanya akan merugikan Indonesia karena menghilangkan kesempatan untuk menghasilkan barang bernilai tinggi dan menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat lokal.
Namun demikian, belajar dari pengalaman Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok, mendorong investasi asing bukan berarti harus melupakan perusahaan domestik. Pemerintah Tiongkok, misalnya, tetap terbuka terhadap investasi asing sembari memastikan bahwa investasi asing tersebut menghasilkan dampak yang optimal bagi kepentingan nasional seperti melalui kewajiban bagi investor asing untuk melakukan transfer teknologi dan mensyaratkan tingkat kandungan dalam negeri. Maka dari itu, akan jauh lebih baik jika Indonesia mendorong investasi asing dan domestik untuk saling berkembang dalam ekosistem hilirisasi. Pemerintah saat ini telah mempromosikan skema kemitraan antara investor asing dan perusahaan lokal, terutama UMKM. Kebijakan tersebut adalah langkah positif untuk Indonesia, namun masih belum cukup dalam mencapai aspirasi besar dari hilirisasi. Untuk itu, Indonesia perlu melakukan transformasi paradigma dalam aspek pendanaan serta riset dan pengembangan (R&D) untuk hilirisasi.
Pertama, pemerintah perlu membenahi aspek pendanaan. Sektor hilirisasi dianggap sebagai sektor berisiko tinggi oleh perbankan atau lembaga pembiayaan yang berakibat pada tingginya tingkat bunga dan persyaratan modal dasar bagi pelaku usaha di sektor tersebut. Dengan akses terhadap pembiayaan yang terbatas ini, pelaku usaha hilirisasi dalam negeri sering menghadapi kesulitan dalam memanfaatkan peluang di industri hilirisasi. Sebagai perbandingan, pemerintah Tiongkok sangat proaktif dalam pembiayaan perusahaan domestik melalui berbagai cara. Pada 2019, pemerintah Tiongkok menghabiskan US$ 160 miliar dalam bentuk pinjaman dengan bunga di bawah harga pasar, subsidi langsung, hibah untuk R&D, dan dukungan pembiayaan modal lainnya. Angka tersebut mendekati total pengeluaran pemerintah Indonesia pada tahun yang sama. Belajar dari Tiongkok, pemerintah Indonesia seharusnya berusaha mengatasi kegagalan pasar untuk mendukung pembiayaan bagi industri hilirisasi, seperti dengan menawarkan jaminan kredit atau subsidi bunga untuk investasi hilirisasi.
Kedua, dalam hal R&D, terdapat hambatan tinggi bagi pelaku usaha hilirisasi dalam negeri untuk masuk pada segmen hilir yang berteknologi tinggi karena dianggap berisiko. Terlebih segmen ini juga mendapat persaingan sengit dengan perusahaan-perusahaan raksasa global. Maka dari itu, pelaku usaha dalam negeri cenderung bermain aman dan enggan mengembangkan teknologinya sendiri. Pentingnya R&D dalam mendorong pertumbuhan ekonomi sudah diakui secara luas, namun berfokus hanya pada pengembangan teknologi melalui universitas dan laboratorium tidak cukup karena Indonesia masih berada jauh tertinggal dalam penguasaan teknologi.
Alih-alih memulai sesuatu yang telah ada dari nol, Indonesia dapat mengoptimalkan R&D dengan mengakuisisi teknologi yang sudah ada dan mengembangkannya lebih jauh seperti yang dilakukan oleh Industrial Technology Research Institute (ITRI) di Taiwan. Sejak awal, fokus ITRI bukan hanya menciptakan, tetapi juga melakukan komersialisasi inovasi. Untuk melakukan hal tersebut, dibutuhkan akses terhadap inovasi tingkat tinggi. ITRI memfasilitasi akuisisi paten teknologi canggih seperti semikonduktor dari berbagai lembaga penelitian dan perusahaan di luar negeri. Selanjutnya, mereka melakukan pengembangan dan mentransfer serta membantu penciptaan perusahaan yang akan mengomersialisasikan teknologi tersebut.
Itulah cerita singkat dibalik lahirnya Taiwan Semiconductor Manufacturing Company (TSMC), perusahaan yang pada awalnya dimiliki pemerintah Taiwan sebesar 49 persen. TSMC kini terkenal sebagai perusahaan fabrikasi semikonduktor terbesar di dunia. Terinspirasi dari TSMC, pemerintah Indonesia perlu memperkuat kebijakan R&D yang berorientasi pada komersialisasi teknologi seperti fasilitasi pembelian paten teknologi asing yang nantinya dikembangkan di dalam negeri ataupun mendorong rekrutmen peneliti dan insinyur yang memiliki pengalaman dan pengetahuan tinggi untuk bekerja di perusahan domestik.
Hilirisasi sudah dimulai dengan baik, tetapi untuk sepenuhnya mewujudkan impian hilirisasi kita, pemerintah dan sektor swasta harus bekerja sama lebih keras melalui terobosan kebijakan pembiayaan dan R&D yang lebih berani. Dengan hilirisasi, masyarakat dan pelaku usaha nasional yang semula hanya menjadi penonton sudah menjadi bagian dari tim yang bermain di lapangan meski sebagian baru duduk di bangku cadangan. Ke depan, agar hilirisasi dapat memberikan dampak ekonomi yang optimal, pelaku usaha dalam negeri perlu “naik kelas” dari hanya menjadi pemain cadangan menjadi bintang lapangan.