Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KONTROVERSI pemberian gelar pahlawan untuk mantan presiden Soeharto adalah sebuah paradoks politik yang selalu terjadi sejak dua tahun lalu, menjelang peringatan Hari Pahlawan pada 10 November.
Tahun ini debat semakin berisik karena ternyata nama Soeharto lolos dari saringan Departemen Sosial, bersama sembilan calon pahlawan lain. Sebagian masyarakat tahu bahwa hancurnya sendi demokrasi kita merupakan warisan pemerintahan otoriter Soeharto. Tapi sebagian yang lain menganggap setiap presiden pernah melakukan kesalahan pada masa pemerintahannya, dan itu perlu dimaafkan. Akan halnya Soeharto yang bertakhta 32 tahun, mereka yang setuju pemberian gelar pahlawan beranggapan Soeharto tetap berjasa dalam pembangunan.
Sebetulnya jika panitia seleksi menyimak baik-baik Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009, kontroversi ini pasti tak akan terjadi. Undang-undang itu mengatur syarat umum dan syarat khusus "kandidat" pahlawan nasional.
Yang memenuhi syarat umum adalah dia yang sudah berjuang, berjasa, setia kepada bangsa dan negara, memiliki integritas, dan tidak pernah dipidana penjara sekurang-kurangnya selama lima tahun. Adapun syarat khusus: pernah memimpin perjuangan merebut dan mempertahankan serta mengisi kemerdekaan, juga memiliki gagasan besar bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
Soeharto barangkali memenuhi sebagian syarat itu. Tapi ia pernah disidangkan dalam kasus perdata dugaan penyelewengan di sejumlah yayasan yang didirikannya, misalnya Yayasan Supersemar-walaupun pihak negara akhirnya tak mampu menghadirkan pentolan Orde Baru itu di pengadilan. Ia juga diduga terlibat pelanggaran hak asasi manusia, kolusi-korupsi-nepotisme, pembunuhan misterius alias "petrus" preman, pembantaian massal anggota Partai Komunis Indonesia pada 1965, penculikan aktivis prodemokrasi, serta "otak" operasi militer di Lampung, Aceh, Papua, dan Timor Timur.
Sudah banyak diketahui bahwa di balik "sukses" pembangunan ekonomi di zaman Soeharto, Indonesia terperosok dalam belitan utang luar negeri yang besar. Sistem ekonomi yang dibangunnya korup dan hanya menguntungkan keluarga serta kroninya belaka.
Meskipun ia gagal disidangkan, karena alasan gangguan memori akut, diyakini bahwa yang terjadi selama 32 tahun pemerintahan Soeharto adalah kesalahan besar. Dan kesalahan itu sesungguhnya tidak mempunyai batas ekspirasi. Maka 20 atau 30 tahun mendatang pun gelar pahlawan tak layak disandangkan kepadanya, seperti bangsa Jerman yang tak pernah mempahlawankan seorang Hitler.
Agar tak lagi terjadi paradoks dan absurditas, panitia seleksi dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diharapkan tidak mengambil risiko dalam hal ini. Relakan saja ia menjadi pahlawan bagi sebagian warga Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, yang mengusulkan gelar ini.
Setelah riuh rendah ini berakhir, yang perlu dikerjakan adalah menuliskan kembali sejarah Indonesia dengan kritis. Selain jasa Soeharto membangun ribuan sekolah, puskesmas, sampai diberi gelar Bapak Pembangunan, perlu disebutkan bahwa pemerintahannya dijalankan dengan tangan besi. Plus-minus seorang tokoh sejarah perlu dipahami secara utuh oleh generasi mendatang.
Ketimbang terjadi inflasi gelar pahlawan, lebih baik pemerintah mengurus hal lain yang lebih penting. Setiap mantan presiden kita mempunyai sisi baik dan buruk. Jadi biarlah mereka-paling tidak sementara ini-menjadi pahlawan keluarga masing-masing. n
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo