Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam hidup ini ada dua hal yang tidak bisa Anda hindari: maut dan pajak. Pemeo ini sudah merupakan bagian dalam hidup masyarakat negara maju, bahkan sudahmendarah-daging. Tapi di Indonesia sedikit lain. Maut lebihdipersepsikan sebagai takdir yang harus diterima dengan sikappasrah. Sedangkan pajak, yang diakui sebagai kewajiban,ternyata acap kali dihindari, dijadikan "obyek permainan petakumpet", dimanipulasi.
Sejak tiga bulan lalu, Direktur Jenderal Pajak HadiPurnomo sudah memberikan aba-aba untuk menghentikan semuapetak umpet dan manipulasi itu. Pajak adalah pajak dansifatnya mutlak. Jika ada wajib pajak yang mencoba berkelit,minta penangguhan untuk kemudian tetap tidak membayar, nah,kepadanya akan diberlakukan gijzeling alias penyanderaan.Wajib pajak yang membandel akan dijebloskan ke penjaraselama enam bulan. Tekad ini disambut masyarakat denganantusias; sebagian mungkin karena ingin menghargai semangatpembaruan dalam sistem perpajakan negeri ini, sebagian lagikarena tidak percaya bahwa aparat pajak bisa tegas dan tidakkenal kompromi.
Sampai akhir pekan lalu, Direktorat Pajak telahmenetapkan 68 orang terkena sanksi pencegahan dengan totalpajak tertunggak Rp 674 miliar. Sebelum itu, inisial namamereka diumumkan dan ancaman gijzeling terusdidengung-dengungkan. Para penunggak pajak rupanya gentar juga, sehinggaada yang mencicil kewajibannya, ada pula yang membayarlunas. Belakangan, tinggal 27 wajib pajak yang membandel; 18di antaranya orang asing dengan tunggakan Rp 388miliar—berarti lebih dari separuh nilai total tunggakan pajak. Orangasing menunggak pajak, sulit dipercaya, bukan? Ternyatamereka sudah biasa "bermain petak umpet" dan memanipulasipajak. Dan seperti kita, mungkin mereka tidak yakin bahwaHadi Purnomo benar-benar akan menjebloskan penunggak pajakke dalam penjara.
Lolosnya Jasman alias A Ciong—penunggak pajaksebesar Rp 11 miliar—dari gijzeling (ia diberitakan melarikan diri),ditambah lagi inisiatif keluarganya mengutus orang untuk"berunding" dengan Direktorat Pajak, tentu pantasdipertanyakan. Upaya ini langsung mengingatkan kita pada mentalitaswajib pajak yang terbiasa tawar-menawar dengan petugaspajak. Dalam kasus Jasman, keteguhan sikap Hadi Purnomoakan diuji. Masalahnya bukan lagi sekadar memburu pelunasanpajak Rp 11 miliar, tapi sudah merupakan masalahkomitmen untuk mengukuhkan kemutlakan pembayaran pajak.Kepada mereka harus diyakinkan bahwa pajak bukan komoditasyang bisa ditawar-tawar. Bersama dengan itu, seharusnya jugatercakup komitmen untuk menegakkan good and cleangovernment—sesuatu yang terlalu berat untuk dibebankan padaseorang Hadi Purnomo, tapi tetap harus dirintis sejak kini.Tanpa aparat pajak yang bersih dan menghormati tugasnya, parawajib pajak belum tentu akan patuh dan loyal membayar pajak.
Penerapan gijzeling itu sendiri tidak akan menjawabsemua carut-marut perpajakan, karena ia bukanlah hukum yangbisa berdiri sendiri. Namun kebijakangijzeling Hadi Purnomo patut dihargai, kendati realisasinya belum mencetak suksesbesar. Kasus Jasman menunjukkan, Direktorat Pajak tidaksepenuhnya berhasil, tapi juga bukan berarti gagal samasekali. Efektivitasnya akan sangat ditentukan oleh ketekunandan disiplin kerja petugas pajak yang juga perlu terusdidukung atasan mereka (Menteri Keuangan) dan kerja sama polisiserta lembaga pemasyarakatan.
Gijzeling juga semestinya bisa menjadi senjata ampuh di tangan Badan Penyehatan Perbankan Nasional dalam menghadapi debitor kakap. Tapi Syafruddin Temenggung tidak melihatnya demikian, dan Hadi Purnomolah yang tampil memelopori hukum paksa badan. Ibarat dadu telah dilempar, tekad telah diikrarkan, maka dia harus konsisten menerapkan gijzeling, minimal sampai Direktorat Pajak mampu mencapai target.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo