Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ruth Panjaitan
Penasihat Hukum Nasional dari International Commission of Jurists
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru kini berada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat. Ada sejumlah ketentuan dalam rancangan itu yang tidak akan memenuhi kewajiban hukum internasional dan akan membawa konsekuensi pelanggaran hak asasi manusia yang merugikan banyak orang. Ketentuan-ketentuan ini berkaitan dengan hal-hal seperti hak privasi, kebebasan berbicara, dan kebebasan berserikat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dalam banyak hal, undang-undang tersebut akan menimbulkan konsekuensi yang sangat mengerikan bagi hak asasi perempuan. Pasal 433 tentang perzinaan adalah salah satu ketentuan yang telah diminta dihapus oleh International Commission of Jurists (ICJ) serta banyak organisasi hak asasi manusia dan advokat.
KUHP yang ada saat ini sudah mengkriminalkan perzinaan secara problematis, mendefinisikannya sebagai hubungan seksual laki-laki atau perempuan yang sudah menikah ketika pasangan seksualnya bukan pasangannya. Namun, dalam rancangan yang diusulkan, definisi perzinaan telah diperluas dengan mencakup tindakan seksual antara seorang perempuan dan laki-laki yang belum menikah. Hukumannya juga ditingkatkan sehingga seseorang yang terbukti bersalah dapat dipenjara hingga 2 tahun. Penuntutan Pasal 433 bahkan dapat dimulai dengan pengaduan pasangan, orang tua, atau anak-anak dari para tersangka.
Kriminalisasi perzinaan tidak sesuai dengan hukum dan standar internasional, termasuk hak privasi dan non-diskriminasi serta perlindungan hukum yang setara. Dalam hubungan ini, berbagai instrumen hak asasi manusia internasional, termasuk Komite Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) dan Kelompok Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Diskriminasi terhadap perempuan, dalam hukum dan praktiknya, secara konsisten menyerukan pencabutan undang-undang yang mengkriminalkan zina. Sebab, penegakan hukum perzinaan menyebabkan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan serta pelanggaran terhadap hak privasi.
Ketentuan perzinaan dalam rancangan itu dapat terlihat netral gender karena memberikan sanksi baik kepada laki-laki maupun perempuan. Namun penelitian dari seluruh dunia telah menunjukkan bahwa kriminalisasi perzinaan biasanya selalu membawa dampak berbeda terhadap perempuan. Misalnya, di Pakistan, Komite Hak Anak mencatat pada 2009 bahwa ada "persentase tinggi perempuan dan anak perempuan di penjara yang menunggu persidangan untuk pelanggaran terkait dengan perzinaan". Pada 2010, Komite Menentang Penyiksaan (CAT) mengatakan bahwa mayoritas perempuan di penjara Yaman telah dihukum karena perzinaan, pelacuran, perilaku yang melanggar hukum atau tidak senonoh, dan kejahatan yang berkaitan dengan kehormatan lainnya. Dalam hal apa pun, baik laki-laki maupun perempuan tidak seharusnya dihukum karena perilaku konsensual.
Stereotipe gender yang berbahaya dan konstruksi feminitas yang kaku menjadi inti perbedaan ini. Perempuan diharapkan sederhana secara seksual. Kesopanan seorang wanita berkaitan erat dengan maskulinitas pasangannya dan kehormatan keluarganya. Karena itu, jika seorang perempuan menunjukkan atau dianggap tidak sopan secara seksual, pasangan laki-lakinya akan dianggap lemah dan rentan. Perempuan itu juga akan dituduh membawa aib bagi keluarganya.
Stereotipe gender yang berbahaya ini masih sangat banyak hadir di Indonesia. Faktanya, pada 2012, Komite CEDAW menyatakan keprihatinannya dalam Pengamatan Kesimpulannya atas laporan berkala Indonesia bahwa ada "kegigihan norma budaya, praktik, tradisi, sikap patriarki yang merugikan terkait peran, tanggung jawab, dan identitas perempuan dan laki-laki dalam keluarga dan dalam masyarakat".
Karena perzinaan perempuan atau bahkan kecurigaan perzinaan oleh seorang perempuan dianggap sangat merusak reputasi suami dan keluarganya di beberapa negara, tidak ada sanksi yang sama bagi laki-laki dan perzinaan dalam kaitannya dengan pembunuhan yang dimotivasi oleh perzinaan. Misalnya, Komite CEDAW menyatakan keprihatinannya pada 2011 bahwa di Kuwait, pria yang terbukti bersalah melakukan pembunuhan yang dimotivasi oleh perzinaan dapat dipenjara hingga 3 tahun atau dikenakan denda 3.000 rupee (sekitar US$ 19), sementara wanita, di sisi lain, dapat dijatuhi hukuman seumur hidup.
Telah ada tren berkelanjutan di seluruh dunia di mana negara-negara melakukan reformasi dan menghapuskan hukum kuno yang sering mengkriminalkan perzinaan. Pada 2018, India mengambil langkah penghapusan hukum perzinaan era kolonialnya. Filipina saat ini sedang merevisi KUHP dan salah satu pertimbangan utama dalam diskusi adalah penghapusan ketentuan perzinaan. Indonesia sekarang memiliki kesempatan untuk meningkatkan dan menegaskan dirinya sebagai pemimpin progresif di Asia dalam menghapus diskriminasi terhadap perempuan dengan menghapus ketentuan yang mengkriminalkan perzinaan dalam rancangan KUHP-nya.