Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Aksi Demagog di Panggung Politik

Demagog memanfaatkan demokrasi untuk mencapai tujuan-tujuan yang otoriter atau menindas. Masyarakat harus menjaga kesadaran.

20 Mei 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI panggung politik dunia, demokrasi telah lama dianggap sebagai titik terang, lambang kebebasan, partisipasi, dan keadilan. Namun, di balik tirai keagungan ini, terselip ironi yang meresahkan: keberadaan para demagog yang mengancam nilai-nilai esensial demokrasi itu sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam perjalanan politik manusia, kita menemukan cerita yang rumit. Harapan dan kegelapan berbaur ketika demokrasi yang diidamkan bertentangan dengan realitas pahit demagogisme.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Para demagog membajak nilai luhur demokrasi untuk memenuhi dahaga dan nafsu angkara kekuasaan dirinya sehingga sosok pemimpin monster seperti Adolf Hitler pun bisa lahir dari proses politik demokratis. Dia tidak saja menjadi tokoh sejarah kelam bagi Jerman, tapi juga kenangan amat buruk bagi dunia.

Padahal, dalam cerita epik sejarah manusia, demokrasi telah dianggap sebagai capaian tertinggi dalam evolusi politik. Dengan janji kekuasaan bagi rakyat, demokrasi menawarkan janji pengakuan hak asasi, keterlibatan rakyat dalam pengambilan keputusan, dan jaminan perlindungan dari otoritarianisme.

Namun, di tengah keagungan konsep tersebut, muncullah para demagog. Mereka mengancam hingga meruntuhkan fondasi demokrasi itu sendiri. Dan ketika kehidupan dunia makin modern, permainan para demagog kian cerdik dan canggih. Mereka pun tak segan dan hilang rasa malu dalam mempertontonkan keculasannya.

Paradoks Kekuasaan Rakyat

Salah satu ironi terbesar dalam demokrasi adalah kontradiksi antara prinsip-prinsipnya dan realitas politik yang kompleks. Meskipun demokrasi bertujuan memberikan kekuasaan kepada rakyat, demagog sering kali memanfaatkan sistem ini untuk mencapai tujuan-tujuan yang otoriter atau menindas.

Dengan menyamar di balik tirai idealisme demokratis, demagog menggunakan retorika yang merayu dan janji-janji yang membius. Simpati pun direngkuhnya lewat segala bentuk propaganda dan pencitraan yang menipu tapi memikat hati rakyat. Kepuasan kepemimpinannya pun hanya diperoleh sesaat dan lamat-lamat oleh penduduk negeri.

Di era modern yang dipenuhi dengan kompleksitas politik dan kemajuan teknologi, tantangan demagogisme semakin nyata. Demagog menggunakan media sosial dan teknologi komunikasi untuk menciptakan narasi yang menguntungkan mereka, memanfaatkan ketidakpuasan publik dan polarisasi politik untuk menggalang dukungan.

Ironisnya, media sosial yang seharusnya menjadi alat untuk memperkuat partisipasi demokratis justru menjadi sarana untuk menyebarkan manipulasi dan propaganda para demagog. Bagai drakula, mereka mengisap darah suara rakyat untuk energi ambisi kekuasaannya.

Ironi dalam demokrasi juga tecermin dalam upaya demagog mengendalikan lembaga-lembaga kunci dan pilar demokrasi: legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Partai politik, birokrasi, kepolisian, militer, kejaksaan, pengadilan atau mahkamah, hingga media massa berada dalam genggamannya.

Demagog sering kali menggunakan strategi menanamkan “ordal” alias orang dalam dalam lembaga-lembaga ini. Orang-orang ini, yang loyal kepada demagog, dapat mempengaruhi keputusan atau tindakan lembaga tersebut sesuai dengan keinginan para demagog.

Praktik menanamkan ordal dalam lembaga-lembaga penting ini memungkinkan demagog memperkuat kendali mereka atas sistem politik. Dengan memiliki akses ke informasi dan proses pengambilan keputusan, demagog dapat memanipulasi lembaga-lembaga tersebut untuk keuntungan politik pribadi mereka, bahkan ketika tindakan mereka bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi.

Pentingnya Memelihara Kesadaran

Di sinilah pentingnya masyarakat insaf akan bahaya penyalahgunaan kekuasaan oleh para demagog dan kaki tangannya. Para demokrat sejati harus terus berdiri tegak menyuarakan terjaganya integritas kelembagaan, penegakan aturan etika dan tata kelola yang ketat, serta memantau dengan ketat tindakan individu-individu di dalam lembaga-lembaga tersebut.

Kita berefleksi, menyaksikan perjalanan manusia dalam memelihara nilai-nilai demokrasi di tengah badai demagogisme yang melanda. Ironi politik menjadi cermin bagi kompleksitas dan ambivalensi dalam politik manusia. Namun, di tengah kegelapan, cahaya harapan harus tetap bersinar untuk memandu kita melalui lorong-lorong labirin politik menuju masa depan yang lebih cerah.

Tugas kita semua adalah memperkuat kesadaran akan pentingnya menjaga prinsip-prinsip demokrasi, menolak manipulasi politik, serta memastikan keadilan dan partisipasi yang merata bagi semua warga negara. Hanya dengan kesadaran dan tindakan bersama kita bisa menenggelamkan para demagog serta menciptakan fondasi yang kokoh untuk masa depan demokratis yang lebih baik bagi generasi mendatang.

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Asep K. Nur Zaman

Asep K. Nur Zaman

Penulis lepas. Pemerhati masalah sosial politik.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus