Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Toriq Hadad
SAYA dengar dalam satu sidang kabinet di Bogor belum lama ini, Presiden Jokowi "mengeluh" tentang "demam Asian Games". Jangankan demam, hangatnya saja belum terasa. Kurang-lebih begitu kata Jokowi.
Jokowi benar. Pekan lalu, di tengah kemacetan Jakarta, saya bertanya kepada sopir taksi: apa tahu akan ada hajatan besar di Jakarta. Jawabnya: dia tahu akan ada "Asean Games". Kapan? "Bulan Agustus, Pak. Saya enggak hafal tanggalnya," ujar sang sopir ogah-ogahan. Berapa negara yang akan datang? "Saya enggak ngitung negara, Pak, anggota Asean kan banyak," tuturnya ketus.
Mendengar nada jawaban "kenceng" itu, saya pun enggan mengoreksi jawaban "Asean Games" menjadi "Asian Games". Ini bukan pesta olahraga se-Asia Tenggara, melainkan se-Asia. Lumayan juga pak sopir tadi tahu multi-event games itu berlangsung pada Agustus. Saya tadinya ingin menambahkan: tepatnya 18 Agustus sampai 2 September. Saya juga tak sempat memberi tahu dia, yang datang nanti 45 negara dengan membawa 15 ribu atlet. Saya yakin sopir taksi itu juga tidak tahu bahwa Palembang ikut menjadi tuan rumah, selain Jakarta.
Padahal, ketika Anda membaca koran ini, pembukaan Asian Games tinggal 104 hari lagi. Rakyat Palembang, menurut Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin, sudah bicara Asian Games sampai ke desa-desa. Tapi Jakarta masih "dingin-dingin" saja. Bahkan pemerintah DKI Jakarta belum setuju untuk meliburkan anak sekolah selama Asian Games berlangsung. Terasa betul, pesta olahraga terbesar kedua setelah Olimpiade ini seakan-akan hanya "gawe"-nya pemerintah. Masyarakat Jakarta, dan saya yakin begitu juga dengan daerah lain di Indonesia, tidak terasa dilibatkan sama sekali.
Saya tahu panitia nanti akan menggelar fun-run di Jakarta dan Palembang. Juga arak-arakan obor Asian Games yang melewati belasan kota. Semoga kegiatan itu cukup ampuh menggelorakan Asian Games. Tapi waktu sosialisasi sudah terlalu singkat. Lihat saja Tokyo, tuan rumah Olimpiade 2020. Praktis, selama empat tahun, ibu kota Jepang itu bersiap. Sejak closing ceremony Olimpiade 2016, Pemerintah Kota Tokyo menampilkan video pendek tentang Tokyo, berbagai venue, dan cabang olahraga yang akan tampil nanti. Tak ketinggalan semua kartun Jepang--Doraemon, Kapten Tsubasa, dan lainnya--dikerahkan sebagai model promosi. Bahkan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe ikut tampil dalam kostum Super Mario. Tokyo sejak awal merebut perhatian dunia. Para pelajar asing yang mengikuti program pertukaran pelajar dibawa berkeliling arena Olimpiade nanti di Tokyo.
Saya membayangkan, suasana akan lebih bergairah jika, misalnya, sejak jauh-jauh hari perusahaan taksi di Jakarta dan Palembang diminta mengharuskan sopirnya memakai seragam khusus dengan logo Asian Games--umpamanya dengan imbalan sedikit potongan pajak. Lalu pegawai negeri di seluruh negeri pada hari tertentu memakai kaus Asian Games. Anak-anak sekolah bisa dilibatkan dengan lomba menggambar atau lomba apa saja bertema Asian Games. Video pendek atlet yang akan bertanding disebar ke seantero negeri. Kalau itu dilakukan, rasanya demam Asian Games cepat menjalar.
Sayang sekali jika pesta olahraga se-Asia berbiaya sekitar Rp 30 triliun itu--menurut Wapres Jusuf Kalla--lewat dari perhatian masyarakat begitu saja. Apalagi, sebelum event itu, warga dunia akan tersedot menonton Piala Dunia Rusia. Belum lagi hiruk-pikuk pilkada serentak pada 27 Juni. Tanpa terobosan kampanye besar-besaran, saya khawatir Asian Games ke-18 tak mampu merebut perhatian masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo