Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Apa yang terjadi di negeri ini sehingga para remaja begitu tega menyiksa sesama rekannya, bahkan ada yang sampai korbannya meninggal? Ini peringatan keras bagi pemerintah dan orang tua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Audrey, pelajar sekolah menengah pertama (SMP) di Pontianak, Kalimantan Barat, menjadi korban penyiksaan yang mendapat sorotan publik. Gadis 14 tahun itu dijemput di rumahnya sebelum disiksa oleh 12 pelajar sekolah menengah atas (SMA) di dua tempat di kota itu, akhir Maret lalu. Hingga kini, Audrey masih dirawat di rumah sakit dan dukungan warganet mengalir untuknya melalui tagar #JusticeForAudrey di media sosial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ini jelas kasus pidana dan polisi harus mengusut tuntas kasus tersebut. Bahkan penyelidikan harus tetap berjalan meskipun ada perdamaian antara keluarga korban dan pelaku.
Kasus Audrey menambah panjang daftar penyiksaan remaja yang dilakukan oleh remaja. Sebelumnya, Maret lalu, seorang pelajar SMP dikeroyok dua remaja di Tangerang, Banten. Februari lalu, Robby Al-Halim, santri di Pondok Pesantren Modern Nurul Ikhlas, Tanah Datar, Sumatera Barat, dituduh mencuri kemudian disiksa hingga tewas oleh belasan santri temannya sendiri. Januari lalu, dua gadis SMP mengeroyok seorang remaja perempuan di Amurang, Minahasa Selatan, Sulawesi Utara, dan videonya tersebar di media sosial. September lalu, seorang pelajar SMP di Palembang, Sumatera Selatan, dikeroyok temannya hingga cedera karena dipukul dengan pecahan botol.
Para pelaku kekerasan di bawah usia 18 tahun dapat diadili sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Bila usianya di atas 14 tahun, mereka dapat dihukum dengan pelatihan kerja sampai penjara. Tapi cukupkah memenjarakan atau membina mereka?
Faktanya, jumlah kasus kekerasan dengan pelaku anak-anak itu tinggi. Komisi Perlindungan Anak Indonesia mencatat, sepanjang 2018, kasus anak yang berhadapan dengan hukum sebanyak 1.434 dari total 4.885 kasus. Komisi mencatat kasus anak sebagai pelaku kekerasan fisik juga meningkat dalam beberapa tahun terakhir, dari 46 kasus pada 2011 menjadi 112 pada 2017. Kekerasan ini termasuk penganiayaan, pengeroyokan, dan perkelahian.
Data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia juga menunjukkan kenaikan jumlah anak yang ditahan. Anak yang berada di Lembaga Pembinaan Khusus Anak meningkat dari 2.319 orang pada 2016 menjadi 2.409 orang pada 2017. Adapun jumlah di Lembaga Penempatan Anak Sementara juga naik, dari 905 menjadi 1.084 pada periode yang sama.
Fenomena ini menunjukkan bahwa anak-anak tidak cuma rentan menjadi korban, tapi juga menjadi pelaku kekerasan. Kekerasan itu pun terjadi karena hal sepele, seperti cemburu, rebutan pacar, atau tersinggung karena komentar di media sosial. Tapi mengapa mereka sampai menyiksa temannya? Apakah generasi muda sekarang adalah generasi pemarah dan mudah tersinggung?
Komisi Perlindungan Anak dan polisi perlu mendekati berbagai kasus ini secara psikologis, bukan hukum semata. Akar masalahnya harus ditemukan. Benarkah mereka korban dari pola pengasuhan yang keliru dalam keluarga? Ataukah ada lingkungan sosial tertentu yang membuat mereka jadi demikian? Masalah mereka adalah masalah kita semua karena anak-anak itu tidak tumbuh di ruang hampa.