Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Mmomentum penyelenggaraan MotoGP di Mandalika memang bukan yang terbaik.
Pemerintah seharusnya memprioritaskan sejumlah masalah lain yang kini lebih meresahkan publik.
Ajang balapan motor ini malah bisa menimbulkan konsekuensi tak terduga.
Cara pemerintah menjual perhelatan MotoGP di Sirkuit Mandalika sudah bak orang kehilangan akal sehat. Segala cara seolah-olah dihalalkan demi suksesnya balapan motor di Lombok, Nusa Tenggara Barat, itu. Pekan lalu, ramai diberitakan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat mewajibkan aparatur sipil negara (ASN) membeli tiket menonton MotoGP pada 18-20 Maret mendatang. Sepekan menjelang ajang balapan dunia itu dimulai, penjualan tiket dilaporkan memang belum sesuai dengan harapan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bukan hanya ASN. Para bupati dan wali kota di seluruh Nusantara, pegawai BUMN, anggota asosiasi profesi, hingga para guru dan pelajar juga dirayu untuk membeli tiket seharga ratusan ribu rupiah itu. Setelah mendapat kritik dari berbagai pihak, pemerintah NTB belakangan menyangkal adanya kewajiban itu. Yang benar, menurut Sekretaris Daerah Nusa Tenggara Barat Lalu Gita Ariadi, pemerintah provinsi hanya memfasilitasi ASN dan keluarganya yang ingin mendapatkan tiket MotoGP.
Bukan hanya soal penjualan tiket, pembatasan perjalanan selama pandemi pun kini dilonggarkan. Seperti diumumkan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan pada Senin lalu, semua penumpang transportasi umum, termasuk pesawat terbang, kini tidak perlu menjalani tes Covid-19. Selama sudah mendapat vaksinasi lengkap, penumpang bisa melenggang. Padahal virus Covid masih mengancam. Per 8 Maret lalu, ada 30.148 kasus baru, naik tinggi dibanding sehari sebelumnya yang sebanyak 21.380. Kerumunan yang bakal terjadi di Sirkuit Mandalika jelas bisa memicu ledakan baru jumlah kasus Covid di Indonesia.
Di tengah impitan beban ekonomi, kelangkaan sejumlah bahan pangan, dan pandemi Covid-19, momentum penyelenggaraan MotoGP di Mandalika memang bukan yang terbaik. Karena itu, pemerintah sudah selayaknya bersikap realistis. Tak perlu ngotot menjual tiket atau melonggarkan pembatasan perjalanan, semata demi ramainya perhelatan MotoGP di Lombok itu. Jangan sampai khalayak ramai mesti menanggung risiko akibat pilihan kebijakan yang kurang tepat.
Semua tentu paham bahwa pemerintah ingin memenuhi indikator utama kesuksesan sebuah acara, yakni tingginya jumlah penonton. Namun faktor kesehatan tak selayaknya diabaikan. Jangan sampai, demi memburu apresiasi dan efek viral di media sosial, keselamatan banyak orang diabaikan.
Pemerintah seharusnya memprioritaskan sejumlah masalah lain yang kini lebih meresahkan publik. Ada soal penanganan pandemi Covid-19 yang masih membutuhkan perhatian, juga kelangkaan minyak goreng dan kedelai yang masih berlarut-larut. Prioritas juga harus diberikan kepada isu kesenjangan ekonomi yang kian lebar. Ada 26 juta orang Indonesia yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Jutaan jiwa lainnya bisa tergelincir masuk kategori miskin jika pengelolaan ekonomi memburuk.
Jorjoran penyelenggaraan event MotoGP terasa kian ironis ketika sejumlah badan usaha milik negara masih terlilit utang. Belum lagi pertumbuhan jumlah pinjaman pemerintah yang kian cepat saja. Memang, sejumlah pihak menilai perhelatan MotoGP bisa mendatangkan manfaat ekonomi untuk kawasan Mandalika dan NTB pada umumnya. Namun kalkulasi yang cermat dan rasional dibutuhkan agar biaya untuk menyukseskan acara itu tidak melebihi proyeksi pendapatannya. Pemerintah tentu tak mau ajang balapan motor ini malah menimbulkan konsekuensi tak terduga (unintended consequences) yang justru berdampak negatif untuk khalayak ramai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo