Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Desentralisasi, Korupsi, dan Investasi

Desain institusi yang tidak efisien, termasuk dalam konteks desentralisasi hingga tingkat desa, mendorong terjadinya korupsi, yang antara lain berupa tindak penyuapan.

11 November 2019 | 07.30 WIB

Desentralisasi, Korupsi, dan Investasi
Perbesar
Desentralisasi, Korupsi, dan Investasi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Wihana Kirana Jaya
Guru Besar FEB UGM

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Desain institusi yang tidak efisien, termasuk dalam konteks desentralisasi hingga tingkat desa, mendorong terjadinya korupsi, yang antara lain berupa tindak penyuapan. Dalam game theory, tindak penyuapan diilustrasikan sebagai situasi the prisoner’s dilemma bad equilibrium, yakni ketika para rekanan berkompetisi untuk memperoleh kontrak atau lisensi, masing-masing dapat menaikkan kans dengan menyuap politikus atau birokrat, tentu disertai dengan ekspektasi biaya-manfaat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejumlah studi di berbagai negara, baik negara maju maupun berkembang, menunjukkan bahwa implementasi desentralisasi dan otonomi daerah telah mendorong dilaksanakannya akuntabilitas horizontal, tapi juga menjadi peluang terjadinya saluran baru bagi praktik penyalahgunaan kekuasaan, seperti politik uang, kolusi, dan korupsi dalam berbagai bentuk. Misalnya, suap, gratifikasi, pemerasan, kronisme, nepotisme, parokialisme, patronase, penggelapan, dan penyalahgunaan pengaruh.

Fakta menunjukkan bahwa korupsi telah terjadi di semua tingkatan pemerintahan, dari pusat hingga tingkat desa. Kini rekrutmen kepala desa yang melalui pemilihan langsung pun rentan terhadap politik uang ("serangan fajar").

Hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) pada 2018 menunjukkan bahwa Indonesia menempati posisi ketiga sebagai negara terkorup di antara 16 negara Asia-Pasifik. Di ASEAN pun Indonesia menjadi negara terkorup ketiga dengan skor 7,57, di bawah Myanmar (8,13) dan Vietnam (7,90). Namun hal ini sudah menunjukkan perbaikan dibanding pada 2010, ketika Indonesia masih menjadi "juara korupsi" dengan skor 9,07.

Hasil survei ini cukup konsisten dengan posisi global Indonesia dalam Corruption Perception Index (CPI) pada 2018, yakni di peringkat ke-89 dari 180 negara dengan skor 38 (dari skala 100). Skor di bawah 50 merupakan barisan negara dengan tingkat korupsi yang masih relatif buruk. Peringkat Indonesia di ASEAN jauh di bawah Singapura (peringkat ke-3 dunia dan 1 ASEAN), Malaysia (peringkat ke-61 dunia dan kedua ASEAN), tapi sudah lebih baik ketimbang Thailand, Filipina, Timor Leste, Vietnam, dan Myanmar.

Bentuk korupsi yang paling umum dan terukur di Indonesia dalam satu dekade terakhir ini adalah penyuapan, terutama antara para pebisnis dan pejabat. Pemberian suap kepada pejabat dapat berkaitan dengan proyek maupun perizinan.

Suap antara pebisnis dan birokrat dikenal sejak zaman Orde Baru. "Tradisi" ini menjadi aturan main tak tertulis, bahwa untuk mendapatkan proyek pemerintah, pebisnis harus membayar sejumlah uang tertentu, khususnya sebelum proyek dimulai, bahkan ketika belum disahkan menjadi anggaran pemerintah.

Perkembangan yang mengejutkan adalah munculnya model suap internal untuk mengisi jabatan-jabatan tertentu dengan tarif-tarif tertentu, terutama pada tingkat kabupaten/kota. Semakin tinggi eselon jabatan yang diinginkan, semakin tinggi tarifnya. Suap jabatan seperti ini secara implisit memberikan lisensi kepada pejabat daerah untuk melakukan korupsi berantai demi mengembalikan biaya suap yang telah dikeluarkannya. Sebab, si kepala daerah pun menerima suap demi alasan serupa, yakni mengembalikan biaya yang dikeluarkan ketika mengikuti pemilihan kepala daerah.

Data dari Komisi Pemberantasan Korupsi menunjukkan bahwa selama 2004 sampai September 2019, Komisi telah menangani kasus korupsi 114 kepala daerah, yang terdiri atas 17 gubernur, 74 bupati, dan 23 wali kota. Dari jenis kasusnya, terdiri atas 87 kasus suap/gratifikasi/perizinan, 27 kasus penyalahgunaan anggaran, 13 kasus pengadaan barang dan jasa, 9 kasus pencucian uang, serta 3 kasus pungutan. Satu kepala daerah yang beperkara bisa saja terkena lebih dari satu macam kasus.

Dalam upaya mengatasi korupsi, pemerintah dapat bersinergi dan saling mengisi dengan KPK. Pemerintah dapat berfokus pada strategi pencegahan, sementara KPK pada penindakan. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018 menyebutkan bahwa fokus strategi nasional pencegahan korupsi adalah pada perizinan dan tata niaga; keuangan negara; serta penegakan hukum dan reformasi birokrasi.

Berdasarkan data KPK di atas, kasus terbanyak berkaitan dengan suap. Karena itu, pemerintah perlu lebih serius membenahi pengelolaan perizinan, yakni penyederhanaan perizinan dan percepatan pelimpahan seluruh wewenang penerbitan izin menjadi satu pintu atau Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), baik di pusat maupun daerah, pemberlakuan standar layanan perizinan di seluruh daerah, dan pengembangan dukungan infrastruktur untuk penerapan teknologi informasi dalam layanan perizinan.

Pada tingkat pusat, perizinan investasi dapat diurus melalui Online Single Submission (OSS). Di daerah, secara prinsip semua masalah perizinan diproses di PTSP, meskipun belum semua daerah menerapkannya. Namun jangan sampai terjadi perizinan satu pintu, tapi "banyak jendela".

Presiden Jokowi masih mengeluhkan lamanya proses perizinan investasi di Indonesia yang bisa tahunan, sedangkan di Vietnam hanya dua bulan, sehingga para investor memilih Vietnam ketimbang Indonesia. Kecenderungan ini menjadi sinyal buruk bahwa korupsi masih sulit dihilangkan dari sektor perizinan investasi, terutama di daerah. Maka, akan lebih runyam lagi jika KPK pun diperlemah melalui revisi Undang-Undang KPK.

 
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus