Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Haryo Kuncoro
Direktur Riset Socio-Economic and Educational Business Institute Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pemerintah, melalui Kementerian Keuangan, baru saja memberikan penghargaan kepada 30 wajib pajak, yang terdiri atas 24 badan dan 6 orang pribadi, sebagai pembayar pajak terbesar kepada negara. Penerimaan pajak penghasilan (PPh) dari wajib pajak besar mencapai Rp 418,73 triliun, naik dari tahun lalu yang sebesar Rp 361,84 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Acara ini sejatinya rutin dilaksanakan tiap tahun. Namun pergelaran pada tahun ini terasa agak berbeda. Pertama, apresiasi kepada wajib pajak besar terjadi tatkala kritik terhadap kenaikan utang negara masih terus berlangsung. Pemerintah seakan-akan ingin menyampaikan pesan bahwa pendanaan belanja juga ditempuh lewat peningkatan penerimaan pajak.
Kedua, penghargaan terhadap kontribusi wajib pajak besar bersamaan dengan pemberlakuan pertukaran informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan. Program ini memberi kewenangan kepada pemerintah untuk mengintip basis pajak dari industri keuangan. Jadi, besarnya kontribusi wajib pajak besar sebetulnya merupakan hal yang wajar.
Ketiga, apresiasi kepada wajib pajak besar juga terjadi berbarengan dengan masa pengisian surat pemberitahuan tahunan (SPT) pajak. Dengan demikian, acara tersebut seakan-akan menjadi ajang promosi sekaligus provokasi agar wajib pajak segera melaporkan SPT-nya dengan benar dan tepat waktu sampai tenggat 31 Maret 2019.
Keempat, kenaikan penerimaan negara pada APBN 2018 melampaui target (102,5 persen). Sayangnya, masih terjadi kekurangan (shortfall) dalam penerimaan perpajakan dari sasaran awal sebesar Rp 108,1 triliun. Walhasil, penghargaan kepada wajib pajak besar menjadi semacam pengakuan atas kontribusi mereka terhadap kondisi keuangan negara.
Hal terakhir itu tampaknya sangat relevan. Dari target penerimaan perpajakan nasional pada APBN 2019, yang sebesar Rp 1.577,6 triliun, wajib pajak besar diberi "jatah" beban sumbangan Rp 498 triliun. Jumlah tersebut akan menyumbang 31,57 persen, naik 19 persen dari realisasi pada 2018.
Besarnya porsi kontribusi pajak dari wajib pajak besar terhadap total penerimaan pajak negara ini juga tidak luput dari kewaspadaan. Secara tidak langsung, kondisi keuangan negara memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap para wajib pajak besar. Penerimaan pajak negara yang terkonsentrasi pada wajib pajak besar tentu sangat berisiko.
Jika kinerja sektor usaha (wajib pajak besar badan) itu sedang turun, misalnya, atau wajib pajak orang pribadi tengah mengalami masalah finansial, niscaya hal itu akan berdampak langsung terhadap penerimaan. Ringkasnya, ada isu kesinambungan penerimaan pemerintah yang dipertaruhkan di masa depan.
Di sisi lain, besarnya kontribusi wajib pajak besar ini juga menunjukkan tingginya ketimpangan pendapatan dan kekayaan di Indonesia. Struktur penerimaan pajak pun terkena imbasnya. Struktur penerimaan PPh masih didominasi oleh PPh badan (90 persen). Sebaliknya, PPh orang pribadi hanya menyumbang 10 persen.
Ketimpangan struktur penerimaan pajak juga tecermin dari perimbangannya dengan pajak pertambahan nilai (PPN). Nilai perolehan PPN, yang merupakan pajak tidak langsung, hanya sedikit di bawah PPh, yang merupakan pajak langsung.
Sementara pembayaran pajak tidak langsung bisa digeser bebannya kepada pihak lain, pembayar pajak langsung sekaligus menjadi penanggung beban akhir. Akibatnya, ketimpangan distribusi beban (tax incidence) pajak juga besar.
Padahal praktik terbaik secara internasional menyarankan penerimaan pajak langsung lebih tinggi daripada pajak tidak langsung, dan perolehan PPh orang pribadi semestinya lebih dominan daripada PPh badan. Dalam perekonomian yang bergejolak, upah karyawan jarang turun.
Karena itu, pemerintah perlu meningkatkan upaya untuk melakukan intensifikasi pajak. Direktorat Jenderal Pajak mesti lebih giat menggali potensi penerimaan pajak dari wajib pajak lain. Konkretnya, untuk mengejar target rasio pajak 12,2 persen, sokongan dari wajib pajak menengah dan kecil tetap diperlukan.
Dorongan untuk memperoleh penerimaan dari usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sangat logis dengan porsi 80 persen bangun usaha di Indonesia berskala UMKM. Bidang usaha ini mampu menyerap 99 persen tenaga kerja.
Jumlah penduduk yang berstatus pekerja juga mencapai 115 juta jiwa. Jadi, terdapat potensi sekitar 85 juta wajib pajak yang belum terdaftar dalam sistem administrasi perpajakan.
Maka langkah awal paling realistis yang dilakukan pemerintah adalah menekan praktik penyimpangan dalam pembayaran pajak. Hal ini mutlak untuk mengkonversi potensi penerimaan menjadi penerimaan efektif guna memenuhi target penerimaan pajak. Langkah berikutnya adalah mentransformasi profil UMKM menjadi UMKM yang modern sehingga terjangkau pajak.
Jika ini bisa dilakukan, penerimaan pajak setidaknya akan bertambah 10 persen tanpa ekstensifikasi pajak. Dalam kondisi ekonomi yang rentan terhadap gejolak eksternal seperti sekarang ini, tidaklah bijak apabila upaya mengejar target rasio pajak dilakukan dengan ekstensifikasi pajak.
Ekstensifikasi pajak yang dibangun tanpa perbaikan ekosistem yang melingkupinya niscaya akan kontraproduktif, bukan hanya bagi penerimaan pemerintah, melainkan juga bagi masyarakat luas.