Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Aparat memakai kekerasan secara berlebihan dalam menghadapi masyarakat penolak proyek Rempang Eco City.
Represi aparat terus berulang sebagai konsekuensi dari pendekatan pembangunan era Jokowi.
Rencana pengembangan kawasan di Rempang minim partisipasi warga.
Kekerasan yang terjadi di Pulau Rempang, Batam, menambah panjang catatan merah kepolisian yang kerap menggunakan cara represif dalam menghadapi masyarakat penolak proyek pemerintah. Penggunaan kekerasan secara berulang telah menjadi penanda buruk model pembangunan di era Joko Widodo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bentrokan antara aparat dan pengunjuk rasa terjadi pada Kamis, 7 September 2023. Hari itu, sejumlah warga penolak proyek Rempang Eco-City berdemonstrasi di sekitar Jembatan 4 Barelang, Rempang. Mereka menolak pengukuran tanah dan pemasangan patok oleh tim Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (BP) Batam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aparat gabungan polisi, TNI, dan Satuan Polisi Pamong Praja membubarkan aksi massa dengan menembakkan meriam air (water cannon) serta melontarkan gas air mata. Massa membalas tindakan aparat itu dengan lemparan batu. Akibatnya, puluhan pengunjuk rasa terluka. Tak hanya itu, lontaran gas air mata yang terbawa angin menyebabkan aktivitas di SD 24 Galang dan SMP 33 Galang terhenti. Sepuluh siswa dan seorang guru dibawa ke rumah sakit.
Penggunaan kekerasan oleh aparat gabungan di Rempang wajar menuai kecaman. Aparat keamanan seharusnya mengedepankan cara-cara persuasif dalam menghadapi pengunjuk rasa. Apalagi warga Rempang selama ini masih bersedia diajak berdialog dan bermusyawarah. Mereka bertahan di pulau itu demi menuntut hak dasarnya untuk hidup serta diperlakukan secara adil.
Pemerintah pusat memasukkan Pulau Rempang sebagai wilayah pengembangan kawasan industri dan komersial untuk dikelola BP Batam pada 1992. Proyek Rempang Eco-City—kerja sama BP Batam dengan PT Makmur Elok Graha (MEG)—ditargetkan menarik investasi hingga Rp 381 triliun sampai 2080. Pulau Rempang akan disulap menjadi kawasan pariwisata, industri, dan komersial.
Betapa pun besarnya target investasi, pemerintah dan aparat keamanan semestinya tidak mengabaikan hak ribuan warga Pulau Rempang. Mereka sudah turun-temurun menempati belasan perkampungan tua di pulau itu sejak 1834. Apalagi warga pun telah memperoleh alas hak atas tanah dari pemerintah kecamatan setempat, jauh sebelum pemerintah pusat memasukkan Rempang ke dalam wilayah pengembangan Kota Batam.
Meski alas hak bukanlah hak kepemilikan, warga Rempang tak selayaknya diperlakukan sebagai penyerobot lahan liar. Mereka memperoleh alas hak secara legal dari pemerintah juga. Apalagi, selama ini, warga pun rutin membayar pajak bumi dan bangunan. Karena itu, BP Batam tidak boleh memaksakan relokasi warga dari permukiman asal tanpa persetujuan mereka.
Pernyataan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. bahwa rencana di Pulau Rempang bukan "penggusuran", melainkan "pengosongan" lahan, jelas jauh dari penyelesaian masalah. Apalagi Mahfud menyebutkan warga hanya berhak atas uang "kerohiman" atau santunan, bukan ganti rugi. Itu sama saja menyirami bara dengan bahan bakar. Status Rempang Eco-City sebagai proyek strategis nasional semestinya tidak menjadi dalih pemerintah untuk "menghalalkan segala cara".
Kasus di Pulau Rempang menambah panjang daftar penggunaan kekerasan untuk membungkam penolakan masyarakat atas proyek pemerintah. Sebelumnya, kejadian serupa meletup di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, pada Februari 2022. Kala itu, warga yang menolak tambang andesit untuk proyek Bendungan Bener juga mendapat perlakuan represif dari aparat keamanan.
Tindakan represif aparat yang berulang merupakan konsekuensi buruk dari "pembangunanisme" (developmentalism) ala pemerintahan Joko Widodo. Dengan klaim demi “menyejahterakan masyarakat”, pelbagai proyek infrastruktur dan pengembangan kawasan dipaksakan dengan menyingkirkan banyak orang, terutama penduduk di lokasi proyek. Kesuksesan proyek diukur dengan target-target ekonomi semata, tak peduli prosesnya menyengsarakan banyak orang atau merusak lingkungan.
Seperti yang terjadi di Wadas, rencana pengembangan kawasan di Rempang minim partisipasi warga. Pemerintah pusat dan daerah juga kian leluasa memaksakan "agenda pembangunan" karena telah memiliki payung hukum sapu jagat, yakni Undang-Undang Cipta Kerja, yang semakin berpihak kepada penanam modal. Demi kepentingan investasi, di lapangan, aparat keamanan pun tak sungkan lagi memakai intimidasi dan represi.*
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo