Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PROSES seleksi calon hakim agung yang kini sudah masuk ke Dewan Perwakilan Rakyat sungguh mencemaskan. Komisi Yudisial, instansi awal yang menyeleksi, terkesan buru-buru memenuhi kuota jumlah hakim yang harus dikirim ke Dewan. Jika parlemen tidak cermat, bisa saja calon hakim yang tak kompeten dan tak berintegritas akhirnya lolos.
Meski jumlah yang ditargetkan penting juga untuk dipenuhi, kualifikasi kandidat hakim agung yang sudah ditentukan standarnya itu tak boleh ditenggang. DPR, pihak penyeleksi berikutnya, harus menolak calon yang tidak kompeten, walau akibatnya kuota pengisian hakim agung tak segera terpenuhi. Tak ada gunanya memaksakan mereka lolos jika hasilnya kelak membuat Mahkamah Agung tak mampu berfungsi dengan benar.
Menjadi hakim agung tidaklah mudah. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Mahkamah Agung menentukan sejumlah persyaratan. Calon dari hakim karier harus telah bertugas sebagai hakim selama 20 tahun dan tiga tahun menjadi hakim tinggi. Masih ada syarat lain, yaitu bergelar master hukum. Bagi pelamar nonkarier, syaratnya lebih berat: bergelar doktor bidang hukum dan telah menjalani profesi di bidang itu sedikitnya 20 tahun.
Syarat ketat itulah yang membuat peminatnya sangat sedikit. Sejak lowongan dibuka pada Juni lalu, calon yang mendaftar hanya 18 orang. Dari jumlah ini, 15 nama harus disetor ke DPR. Komisi Yudisial harus bersusah payah mencari calon tambahan, termasuk melakukan operasi "jemput bola" ke berbagai daerah. Akhirnya, secara bertahap terkumpul 24 nama, yang sudah diserahkan ke DPR. Dewan harus memilih delapan orang untuk mengisi delapan kursi hakim agung yang sudah kosong sejak awal tahun ini.
Dari 24 kandidat seharusnya bisa didapat calon-calon yang mumpuni. Nyatanya tidak. Dari nama-nama yang masuk ke DPR, ternyata banyak kandidat yang pada tahun-tahun sebelumnya pernah melamar dan gagal. Bahkan ada yang telah mengikuti seleksi hingga empat kali. Patut disayangkan jika Komisi Yudisial akhirnya meloloskan mereka hanya lantaran nama-nama tersebut direkomendasikan Mahkamah Agung. Mereka juga diloloskan karena "hanya" gagal di tes kesehatan dan kompetensi, bukan karena rekam jejak yang buruk. Menurut Komisi Yudisial, andai mereka gagal di rekam jejak, sudah pasti tak akan diloloskan.
Lolosnya kandidat yang pernah gugur dalam seleksi tahun sebelumnya ini menunjukkan betapa terbatasnya calon yang bisa diajukan ke DPR. Komisi Yudisial mestinya tak boleh memberi kelonggaran, meski rekam jejak sang kandidat tak terbukti buruk. Untuk memegang jabatan sepenting itu, rekam jejak hanya satu soal. Kesehatan yang prima, apalagi kompetensi sebagai hakim, merupakan faktor yang tak kalah penting. Kita tentu tidak ingin hakim agung yang menjabat adalah orang yang kesehatannya bermasalah atau tak kompeten menangani perkara.
Sekarang bola ada di tangan DPR. Setelah usai masa reses pada Januari tahun depan, Dewan punya waktu 30 hari sidang untuk memilih. Tak ada ketentuan yang mengharuskan politikus-legislator di Senayan ini memenuhi semua jumlah hakim agung yang dibutuhkan. Karena itulah Dewan semestinya melakukan seleksi ketat. Meskipun jumlah calon kurang dari target, DPR tak perlu ragu menggagalkan siapa pun yang tak layak.
Memang ada risiko beberapa kursi hakim agung tetap kosong. Artinya, tunggakan perkara bakal makin menumpuk. Lebih baik mengambil risiko ini ketimbang mempertaruhkan keadilan di tangan hakim yang tak kompeten. Toh, kursi lowong itu nantinya masih bisa diisi dengan melakukan seleksi lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo