Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Semestinya direksi PT Garuda Indonesia Tbk tak lagi punya keberanian tampil di publik dan dengan gagah menyatakan akan merevisi laporan keuangan. Seyogianya mereka ciut untuk sekadar menyatakan menerima sanksi karena laporan keuangan 2018 ditolak Kementerian Keuangan dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Seharusnya mereka mundur karena gagal menjalankan kewajiban profesional sebagai orang manajemen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Tapi Indonesia bukan Jepang, yang tiap-tiap pejabatnya punya rasa malu yang besar. Di sini, para pejabat negara yang menikmati uang pajak orang banyak, yang mendapat mandat menjalankan amanat publik mengelola uang masyarakat, masih bisa tersenyum di depan kamera televisi setelah melakukan kesalahan paling memalukan dalam karier profesional mereka: merekayasa laporan keuangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Apa yang dilakukan para anggota direksi Garuda tak hanya memalukan secara etika, tapi juga memalukan secara keahlian. Karena bernafsu mendapatkan pujian bisa membenahi keuangan maskapai penerbangan negara yang morat-marit selama ini, mereka memasukkan keuntungan yang masih menjadi piutang sebesar US$ 239,9 juta, sehingga direksi Garuda mengklaim pada 2018 perusahaan pelat merah ini meraup laba bersih Rp 11 miliar.
Para mahasiswa semester pertama akuntansi pasti paham bahwa piutang bukanlah keuntungan riil karena uangnya belum diterima. Apalagi, dalam hal Garuda, setoran dari pihak ketiga itu masih harus dibagi dengan maskapai lain karena kerja sama melibatkan banyak pihak. Selain dananya tak ada, jumlahnya pasti jauh lebih kecil dari yang diklaim direksi.
Maka sanksi atas laporan memalukan ini semestinya tak hanya berupa denda tanggung renteng direksi sebesar masing-masing Rp 100 juta, tapi juga ditanggung oleh Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sebagai pemilik saham mayoritas, para pejabat di kementerian ini yang pertama menerima laporan keuangan sebelum diperiksa OJK. Seharusnya mereka menegur atas rekayasa ini sebelum OJK menelisiknya sejak dua bulan lalu, bukan malah membelanya ketika dugaan rekayasa itu terkuak.
Para pejabat Kementerian BUMN pula yang memilih para direksi Garuda. Kejadian ini telah menunjukkan bahwa mereka gagal menunjuk pejabat yang benar untuk perusahaan sebesar Garuda yang sudah dikenal di seluruh dunia. Garuda menjadi barometer pengelolaan maskapai di Indonesia. Jika perusahaan itu dikelola secara serampangan dan main-main seperti ini, tak mengherankan jika maskapai lain bisa lebih rusak.
Industri penerbangan adalah industri yang padat modal. Industri ini memerlukan ahli keuangan, ahli manajemen, dan ahli aviasi yang mumpuni. Memilih para pengelola karena kedekatan dan haluan politik hanya akan menjerumuskan perusahaan ini terus-menerus ke dalam kubangan kerugian. Hal itulah yang terlihat dari kinerja para komisaris yang mewakili pemerintah-mereka yang dipilih karena balas jasa telah membela Presiden dalam pemilihan umum.
Para elite sudah saatnya insaf. Menyerahkan perusahaan negara sebesar Garuda kepada orang-orang yang tidak kompeten hanya memelihara kerusakan yang sudah berurat-akar. Garuda harus direformasi sejak dari direksi hingga komisarisnya. Jika kualitas pengelolanya masih seperti ini, jangan harap kita punya perusahaan negara penerbangan yang disegani, atau dilepas sama sekali dari cengkeraman pemerintah.