Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanggung jawab, dedikasi, dan kemampuan aparat birokrasi yang selama ini diragukan, kini kembali diuji melalui program beras untuk rakyat miskin, yang populer disebut raskin. Membagi-bagi beras yang dijatah Sub-Depot Logistik (Sub-Dolog) tentu bukan pekerjaan yang sulit. Namun banyak hal menunjukkan bahwa tugas sesederhana itu pun tak bisa dilakukan aparat dengan baik. Dan rakyat lagi-lagi dikecewakan.
Di Cikatomas, Tasikmalaya, 21,5 ton beras murah tidak dijual kepada rakyat miskin, tapi dilego kepada pengusaha seharga Rp 1.300 per kilogram. Dari selisih harga Rp 300 per kg, pegawai kecamatan yang menyelewengkan raskin itu meraup untung sekitar Rp 6,5 juta. Penyelewengan yang agak berbeda dilakukan di Muara Angke, Jakarta Utara. Di kampung nelayan ini, jatah beras 20 kg untuk tiap kepala keluarga disunat menjadi hanya 19,5 kg. Nelayan yang menimbang karung beras itu satu per satu, langsung protes. Penyunatan serupa juga terjadi di Kecamatan Laweyan, Solo.
Program raskin di Gresik, Jawa Timur, lain lagi. Di sini, beras murah malah dibagi rata, tak terkecuali kepada anggota DPRD setempat. Akibatnya, jatah keluarga miskin yang 20 kg menyusut tinggal 10 kg. Selain terpotong 50 persen, tiap keluarga juga wajib membayar ongkos angkut Rp 500 sampai Rp 1.000. Alasannya, pihak kecamatan tidak menyediakan biaya transpor.
Timbul pertanyaan, apakah rakyat mesti terima nasib dan terus jadi bulan-bulanan birokrasi. Jawabnya, tidak. Rakyat bukan tidak menyadari bahwa untuk menghentikan praktek korupsi itulah, reformasi digulirkan. Tentu dalam konteks ini, tak seorang pun boleh bertopang dagu dan membiarkan oknum pejabat lokal menyerobot hak rakyat. Esensi demokrasi adalah check and balance, sehingga kalau DPR dan DPRD lalai mengontrol kerja eksekutif, dan pers juga alpa, rakyat tidak seharusnya tinggal diam. Masalahnya bukan semata-mata jatah 20 kg beras murah, tapi hak rakyat miskin yang digerogoti dan penegakan hukum yang lemah. Inilah dua dari sejumlah penyakit Orde Baru yang mengancam sendi-sendi paling vital dari eksistensi bangsa. Terlebih kalau 40 juta dari 210 juta warga Indonesia sudah tergolong miskin, ketahanan ekonomi akan semakin rentan.
Berkaitan dengan kerentanan ekonomi itu, fakta bahwa birokrasi masih doyan korupsi dan dibiarkan terus berkorupsi, telah membuat gusar banyak pihak. Selama ini rasa gusar itu terlampiaskan melalui tindakan main hakim sendiri, misalnya pada maling ayam dan pencuri motor. Kini, gara-gara raskin, mungkin pelampiasan serupa bisa juga diarahkan kepada lurah, camat, dan bupati. Toh, lewat cara yang sopan, hal itu sudah dilakukan oleh 300 warga Cikatomas, Senin lalu. Mereka mendatangi kantor kecamatan, khusus menanyakan jatah beras yang dijual kepada pedagang. Sang camat berjanji kasus itu akan diteliti dulu, padahal dua pegawai di daerah berdekatan sudah diturunkan pangkatnya karena menyelewengkan raskin.
Sanksi administratif seperti penurunan pangkat tentu masih terlalu lunak. Memang tak bisa dinafikan bahwa ada kelemahan pada distribusi raskin, namun dalam beberapa kasus di atas, justru birokrasinya yang bermasalah, bukan sistemnya. Program raskin jelas-jelas memperkaya segelintir oknum yang curang, tapi bukan berarti program yang sudah berlangsung sejak tahun 1998 ini?di bawah nama yang berbeda?tidak ada segi positifnya. Bila dilaksanakan secara benar, program raskin ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi ia bisa meringankan beban ekonomi rakyat kecil. Di sisi lain, berbagai penyimpangan dalam realisasi program raskin harus ditebus pemerintah dengan tindakan tegas terhadap pelaku korupsi. Dan ini penting karena hanya lewat peradilan dan penjara sajalah, agaknya, birokrasi yang diragukan integritas dan kemampuannya itu bisa dibina menjadi bersih, andal, dan bertanggung jawab.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo