Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LARANGAN Kementerian Agama terhadap kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) melanggengkan diskriminasi terhadap minoritas kelompok beragama. Tak hanya memberikan ruang bagi kelompok intoleran melakukan persekusi, pelarangan itu juga menunjukkan bahwa negara gagal menjamin hak asasi bagi seluruh warga negaranya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belum lama ini, Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Tengah menolak rencana jemaah Ahmadiyah menggelar pertemuan tahunan ijtimak Majelis Ansharullah pada November 2023. Panitia menyebutkan acara yang bakal diikuti 1.500-an anggota JAI tersebut akan berlangsung di Asrama Haji Donohudan, Boyolali. Dijamin oleh undang-undang, kegiatan tersebut semestinya difasilitasi pemerintah untuk merawat moderasi beragama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penolakan itu bersandar pada Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri Nomor 3 Tahun 2008 yang diskriminatif. Ini adalah aturan yang dikeluarkan oleh Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, serta Jaksa Agung. SKB ini mengandung enam poin tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan Ahmadiyah. Salah satunya adalah memerintahkan jemaah itu menghentikan kegiatan yang tak sesuai dengan penafsiran agama Islam.
Ketentuan ini bertolak belakang dengan konstitusi bahwa beribadah dan berkeyakinan merupakan hak asasi. Alih-alih melindungi, negara memilih tunduk pada ketakutan yang belum tentu terjadi, yakni ancaman keamanan dari kelompok intoleran bila acara Ahmadiyah tetap digelar. Semua itu berpijak untuk menjaga keharmonisan yang semu.
Rencana Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas meninjau ulang SKB baru sebatas janji yang tak pernah terealisasi. Padahal SKB ini sudah terbukti berkali-kali menjadi amunisi bagi kelompok intoleran melakukan kekerasan terhadap Ahmadiyah. Aturan yang mamasung hak asasi manusia dan membawa banyak mudarat semestinya tak punya tempat di negeri ini.
Sebelum SKB terbit, terdapat 114 kekerasan terhadap Ahmadiyah sepanjang 1998-2008. Setelah SKB terbit, ada 530 kekerasan yang dialami Ahmadi—sebutan bagi pengikut Ahmadiyah—selama 2008-2022. Ini sekaligus sebagai bukti bahwa persekusi terjadi ketika kelompok garis keras mendapatkan suara dan tempat di masyarakat. Sedangkan pemerintah gagal memberikan perlindungan total bagi kelompok minoritas.
Salah satu peristiwa yang paling mencekam adalah peristiwa penyerangan di Kecamatan Cikeusik, Pandeglang, Banten, pada Februari 2011. Dalam tragedi itu, tiga orang tewas, satu mobil dibakar, dan satu rumah dirusak. Namun, dalam persidangan, para pelaku kekerasan itu divonis ringan 3-6 bulan penjara. Negara gagal menunjukkan keberpihakannya kepada kelompok minoritas yang ditindas.
Selain SKB, fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) ditengarai menjadi salah satu pemicu persekusi. Pada 1980, MUI mengeluarkan fatwa yang menyatakan Ahmadiyah sebagai aliran di luar Islam. Pada 2005, MUI kembali menerbitkan fatwa yang menyatakan Ahmadiyah aliran sesat. Mereka meminta pemerintah melarang penyebaran Ahmadiyah serta membekukan dan menutup semua tempat kegiatannya. Sebagian besar masyarakat berpegang pada fatwa itu. Padahal MUI bukan lembaga negara.
Ini sejalan dengan sejumlah studi yang menyebutkan bahwa meningkatnya intoleransi seiring dengan tumbuhnya konservatisme agama setelah tumbangnya Orde Baru. Fenomena tersebut memberikan peluang bagi kelompok garis keras bangkit dan mengekspresikan pandangan-pandangan mereka. Celakanya, persekusi terhadap komunitas minoritas kerap terjadi karena pemerintah memberikan angin kepada kelompok intoleran.
Penolakan terhadap kegiatan Ahmadiyah di Jawa Tengah merupakan salah satu contoh bahwa negara belum bisa menjamin kebebasan bagi kelompok agama mana pun. Pelarangan ini merupakan pelanggaran serius terhadap konstitusi. Kebebasan beragama dan berkeyakinan dikoyak oleh aparat pemerintah sendiri. *
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo