Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X semestinya mencabut aturan lawas yang membatasi kepemilikan lahan bagi "nonpribumi" di wilayahnya. Beleid diskriminatif ini tercantum dalam Surat Instruksi Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor K.898 Tahun 1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak atas Tanah kepada Warga Negara Indonesia Non-Pribumi. Aturan lokal yang melarang warga keturunan Tionghoa memiliki tanah di Yogyakarta itu melanggar konstitusi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Seorang pengacara bernama Handoko berkali-kali menggugat aturan itu ke pengadilan. Berkali-kali pula pengadilan dan Mahkamah Agung menolaknya. Terakhir, gugatan Handoko kembali ditolak Pengadilan Negeri Yogyakarta atas gugatan perdata Surat Instruksi itu. Ia kini mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Yogyakarta untuk terus melawan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Instruksi tersebut sebenarnya bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang membolehkan semua warga negara Indonesia, tak terkecuali keturunan Tionghoa, menguasai tanah dengan status hak milik. Instruksi itu diterbitkan berdasarkan ketakutan penuh prasangka bahwa warga keturunan Tionghoa akan menguasai tanah di Yogyakarta. Merujuk ke data perkumpulan keturunan Tionghoa di Yogyakarta, mereka berjumlah sekitar 30 ribu orang dari total hampir 3,6 juta penduduk. Dari jumlah itu, rata-rata luas tanah yang dimiliki satu keluarga keturunan Tionghoa adalah sekitar 200 meter persegi-semua dalam hak guna bangunan, bukan sertifikat hak milik.
Aturan tak adil dalam kepemilikan tanah itu semestinya juga telah gugur sejak keluar Peraturan Daerah DIY Nomor 3 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Berlaku Sepenuhnya Undang-Undang Pokok Agraria di Provinsi DIY. Pasal 3 menyebutkan, dengan berlakunya peraturan daerah tersebut, segala ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang mengatur tentang agraria dinyatakan tidak berlaku lagi.
Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998, yang menghapus istilah nonpribumi, juga menunjukkan aturan tersebut tak relevan lagi. Sayangnya, kantor-kantor Badan Pertanahan di Yogyakarta masih menjadikan Surat Instruksi itu sebagai acuan sehingga melanggengkan diskriminasi terhadap masyarakat keturunan Tionghoa yang hendak memiliki sertifikat hak milik atas tanah.
Di tengah perlawanan hukum oleh pengacara Handoko, alangkah terpujinya jika Sultan Hamengku Buwono X memenuhi desakan para aktivis antidiskriminasi untuk mencabut aturan itu. Gubernur semestinya mematuhi aturan yang lebih tinggi, termasuk dalam hal status "pribumi" dan "nonpribumi" yang telah dihapuskan.
Sejumlah hasil penelitian akhir-akhir ini menunjukkan masyarakat Yogyakarta semakin tidak toleran. Jika tidak dicabut, aturan tentang kepemilikan lahan itu akan menunjukkan bahwa negara pun bertindak diskriminatif terhadap warganya.