Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Diskriminasi Pernikahan Atas Nama Agama

Penerbitan SEMA Nomor 2 Tahun 2023 yang melarang hakim mengabulkan pernikahan beda agama adalah tindakan diskriminatif.

21 Juli 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • MA pernah mengeluarkan putusan yang mengizinkan pengesahan perkawinan beda agama.

  • Surat Edaran MA Nomor 2 Tahun 2023 bertentangan dengan UU Administrasi Kependudukan.

  • Dalam memutuskan perkara, hakim tidak wajib mematuhi SEMA.

Terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan merupakan kemunduran yang luar biasa bagi MA sekaligus cermin dari diskriminasi negara terhadap rakyatnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam SEMA bertanggal 17 Juli 2023 itu, Ketua MA Muhammad Syarifuddin melarang pengadilan mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan pasangan yang berbeda agama dan kepercayaan. MA menekankan bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan, sesuai dengan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMA tersebut merupakan kemunduran bagi MA yang selama ini tergolong progresif dalam hal perkawinan beda agama. Sebelumnya, dalam Putusan MA Nomor 1400 K/Pdt/1986, Mahkamah Agung justru menyatakan bahwa perkawinan beda agama dapat disahkan dengan penetapan pengadilan. Bermodalkan putusan itu, kantor catatan sipil bisa mencatatkan perkawinan beda agama, asalkan ada penetapan pengadilan. Kini, 37 tahun berselang, bukannya kian mendukung penghargaan terhadap hak privat masyarakat, MA malah merenggutnya.

Baca juga: Cawe-cawe Pencatatan Nikah Beda Agama

Ketua MA harus mencabut SEMA tersebut karena melanggar hak dan kebebasan warga negara. Masyarakat berhak mendapat pengakuan dari negara, berhak atas kebebasan beragama, dan berhak atas layanan kependudukan. MA mengabaikan fakta bahwa Indonesia dibangun oleh berbagai agama yang diakui negara, sehingga sangat ironis jika perkawinan beda agama justru dilarang.

Dalam hal perkawinan, tugas negara semestinya hanya mencatat dan memberikan keadilan dalam layanan administrasi, tanpa mengintervensi privasi masyarakat. Apalagi UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, yang secara hierarki jauh di atas secarik surat edaran, membuka peluang adanya pengakuan negara.

Menurut UU Administrasi Kependudukan, pencatatan bisa dilakukan bagi perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan. Penjelasan undang-undang tersebut mengatakan, hal yang dimaksudkan dengan "perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan" adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat berbeda agama. Pasal ini yang menjadi pegangan hakim dalam mengabulkan pencatatan pernikahan beda agama.

Tentu saja masalah mendasar yang tidak boleh dilupakan dalam sengkarut ini adalah masih bercokolnya aturan dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menetapkan bahwa perkawinan hanya sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Undang-undang ini melarang perkawinan yang diharamkan oleh agama calon pengantin, yang memunculkan tafsir melarang perkawinan beda agama.

Korban larangan terhadap perkawinan antar-pemeluk agama yang berbeda pada akhirnya adalah perempuan dan terutama anak-anak dari perkawinan campur. Pembatasan oleh UU Perkawinan, yang kemudian dikuatkan oleh SEMA, merenggut perlindungan negara kepada mereka. Tanpa adanya pengakuan negara, hak-hak hukum mereka dalam perkawinan hilang.

Masyarakat memang dapat membangkang, misalnya memilih tinggal bersama tanpa ikatan perkawinan. Pilihan lainnya adalah menikah di luar negeri atau berpindah agama secara pragmatis demi perkawinan. Tapi apakah membiarkan masyarakat terpaksa melakukan hal-hal tersebut merupakan sikap yang “adil dan beradab”? Para pemimpin MA harus menyadari hal ini: demokrasi hukum dan undang-undang hadir untuk menjamin dan melindungi hak warga negara, bukan sebaliknya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus