Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Disparitas Tuntutan dan Hukuman Kasus Korupsi

Dalam praktik hukum sekarang, ada disparitas tuntutan dan hukuman dalam kasus korupsi.

15 Januari 2019 | 12.17 WIB

JPU KPK menyusun berkas surat tuntutan setebal 1.211 halaman terdakwa Gubernur Jambi nonaktif, Zumi Zola Zulkifli, sebelum sidang pembacaan surat tuntutan di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis, 8 November 2018. TEMPO/Imam Sukamto
Perbesar
JPU KPK menyusun berkas surat tuntutan setebal 1.211 halaman terdakwa Gubernur Jambi nonaktif, Zumi Zola Zulkifli, sebelum sidang pembacaan surat tuntutan di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis, 8 November 2018. TEMPO/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Maqdir Ismail
Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Dalam praktik hukum sekarang, ada disparitas tuntutan dan hukuman dalam kasus korupsi. Ini berlaku baik dalam jenis perkara yang sama tapi tidak berhubungan maupun perkara yang sama dan berhubungan karena didakwa secara bersama-sama. Bahkan disparitas terjadi dalam pasal yang digunakan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Contoh perkara yang sama jenis perbuatannya tapi berbeda pasalnya adalah perkara Gubernur Jambi Zumi Zola dan Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti. Mereka sama-sama diduga menerima uang dari pihak ketiga dengan jumlah yang sangat berbeda, tapi pasal yang disangkakan berbeda.

Zumi Zola dituduh menerima uang sebesar Rp 40,477 miliar, US$ 173 ribu, dan Sin$ 100 ribu, serta sebuah mobil Alphard. Dia dibidik dengan Pasal 12 B Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), yaitu menerima gratifikasi, dan Pasal 5 ayat 1 UU Tipikor, yakni sebagai pemberi suap. Dia diancam hukuman 8 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Pengadilan memvonisnya dengan hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp 500 juta.

Adapun Ridwan Mukti dituduh menerima Rp 1 miliar. Dia dikenai Pasal 12 huruf a atau huruf b UU Tipikor atau Pasal 11 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ancaman kedua pasal terakhir ini sama, yaitu maksimal 20 tahun. Pengadilan kemudian menjatuhkan vonis 8 tahun penjara dan denda Rp 400 juta.

Zumi lebih beruntung. Meski dia didakwa melakukan dua perbuatan pidana, karena perbuatan itu sejenis, maka berdasarkan Pasal 65 KUHP dia hanya akan dikenai satu perbuatan pidana.

Mengapa Zumi dituntut dan dihukum dengan hukuman yang lebih ringan padahal uang yang diterimanya empat puluh kali lebih besar dibandingkan dengan yang didapat Ridwan Mukti? Tentu akan ada yang menjawab bahwa ini adalah keyakinan Komisi Pemberantasan Korupsi dan hakim.

Bagaimana bisa jawabannya begitu? Dalam perkara Zumi Zola, ada pengakuan dari tersangka dan terdakwa. Sedangkan dalam perkara Ridwan Mukti, istrinya mengaku meminta dan menerima uang tapi tidak mengakui keterlibatan suaminya. KPK dan hakim menganggap bahwa Ridwan Mukti terbukti meminta uang dan mengetahui istrinya menerima uang.

Contoh perkara yang terdakwanya didakwa bersama-sama adalah perkara Anang Sugiana Sudihardjo serta perkara Irvanto Hendra Pambudi Cahyo dan Made Oka Masagung. Anang, sebagai Direktur Utama PT Quadra Solution, dituduh menerima keuntungan Rp 79 miliar dalam kasus korupsi pengadaan kartu tanda penduduk berbasis elektronik (e-KTP). Anang dituntut dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dengan ancaman hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Hakim akhirnya menghukum Anang sesuai dengan tuntutan jaksa.

Dalam perkara Irvanto dan Oka, keduanya didakwa dengan pasal yang sama dengan Anang tapi dengan ancaman hukum masing-masing 12 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Hakim lalu memvonis mereka masing-masing dengan hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta.

Disparitas tuntutan dan hukuman ini betul-betul terjadi, karena baik penyidik maupun penuntut umum selalu meminta Irvanto dan Oka Masagung mengaku telah menyerahkan uang kepada Setya Novanto. Dalam perkara Anang, tidak ada pengakuan secara jelas tentang penerimaan uang oleh Setya Novanto. Hanya, dikemukakan ada sejumlah uang yang merupakan pinjaman Johannes Marliem kepada Oka yang dianggap untuk Setya, dan ada juga pinjaman Oka yang dianggap diserahkan kepada Setya. Namun, dalam keterangan Anang, pinjaman Oka telah dikembalikan. Sementara itu, dalam perkara Irvanto dan Oka, secara tegas diberikan penyangkalan terhadap penyerahan uang kepada Setya.

Dalam perkara Anang serta perkara Irvanto dan Oka tidak ada perbedaan pasal yang didakwakan. Yang berbeda adalah pihak yang diuntungkan. Dalam perkara Anang, dia mengaku diuntungkan oleh proyek e-KTP sebesar Rp 79 miliar, sedangkan Irvanto dan Oka tidak mengaku telah menguntungkan Setya Novanto.

Akibat nyata dari pengakuan ini, Anang dituntut dan dihukum jauh lebih ringan meskipun perusahaannya mendapat keuntungan yang sangat besar. Nasib berbeda dialami Irvanto dan Oka, yang dihukum dengan hukuman lebih tinggi dan tanpa mendapat keuntungan.

Perbandingan keempat putusan ini menjadi bukti bahwa pengakuan bersalah dianggap lebih penting daripada proses hukum yang benar sesuai dengan bukti persidangan. Proses hukum yang terjadi sekarang membenarkan dugaan bahwa peradilan pidana kini begitu bergantung pada pengakuan, bukan sistem peradilan, dan keyakinan hakim berasal dari pengakuan bersalah. Ini bermakna bahwa pada hakikatnya proses peradilan itu bukan untuk menegakkan hukum dan mencari keadilan, tapi proses pengakuan dosa dan pengakuan bersalah, yang kemudian dengan pengakuan itulah putusan dijatuhkan.

Sudah saatnya disparitas antara tuntutan dan hukuman dalam perkara korupsi tidak digantungkan pada pengakuan. Tugas penyidik, penuntut umum, dan hakim adalah memproses perkara menurut hukum, bukan atas kehendak aparat penegak hukum. Tidak selayaknya hakim didorong memutus perkara yang tidak sesuai dengan hukum.

Terdakwa yang dibuat mengaku bersalah atau menjadi justice collaborator dapat diberi kemudahan atau keringanan hukuman. Namun keringanan hukuman itu tidak boleh melebihi batas kepatutan dengan mempertimbangkan jumlah dari hasil tindak pidana yang diterima dan digunakan.

Yang lebih penting lagi adalah kedudukan justice collaborator, yang perlu diberikan secara benar dan menurut hukum. Mereka juga harus melalui pertimbangan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.


"Satu tahun saya di Pemprov DKI kebanyakan ingin melimpahkan semua keputusan kepada Gubernur."

- Nama Pembisik
Menteri Kesehatan di Jakarta, Kemarin

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus