Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Doa kebudayaan

Doa kebudayaan menjelang peringatan 17 agustus 90. dimaksudkan untuk memperbarui kesadaran budaya kita. ada kecemasan dan kegalauan rakyat tentang ketidak adilan,kesenjangan, dan pengangguran.

25 Agustus 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA tengah malam menjelang 17 Agustus 1990 lalu, saya membaca doa. Doa Kebudayaan. Di hadapan sekitar lima ratus orang anak muda Jakarta, saya berdiri seraya menunduk. Mereka merelakan sela-sela gegap gempita sukacita menyongsong hari kemerdekaan ke-45 Indonesia, untuk berdiam diri sejenak, mendengarkan atau mengamini doa. Dengan latar belakang paduan suara Paragita UI, di atas panggung Teater Terbuka, Taman Ismail Marzuki Jakarta, kami memanjatkan puji syukur kehadirat Allah atas segala nikmat dan karunia yang telah dilimpahkan-Nya kepada bangsa Indonesia. Betapa tidak. Tatkala kami dambakan kebebasan, telah dilimpahkan-Nya kemerdekaan. Tatkala kami pertahankan keutuhan, telah dianugerahkan-Nya kesatuan. Tatkala kami upayakan kekuatan, telah diberikan-Nya kesentosaan. Tatkala kami inginkan kesejahteraan, telah dibukakan-Nya aneka jalan. Dan tatkala kami mohonkan ampun, telah dijanjikan-Nya keridoan. Tetapi kenapa, di luar kelaziman, peringatan malam itu sangat terasa disemangati oleh rasa kegelisahan dan kegalauan? Di balik gelak tertawa dan sorak-sorai menyambut nyanyian, tarian, sandiwara, drama, dan pembacaan sajak-sajak sketsa kemasyarakatan, ada geliat membangun kembali keberdayaan yang dirasakan nyaris hilang. Tengoklah puisi Ajip Rosidi, yang dimainkan dengan gaya teater wayang, oleh kelompok Teater Kubur malam itu. Atau sajak-sajak pilihan, yang disajikan dengan lucu dan kreatif, biarpun pedih, oleh Bengkel Deklamasi, Lab 59, maupun penyair-penyair beken Yudhistira A.N.M. Massardi, Hamid Jabbar, dan Sutardji Calzoum Bachri. Juga syair-syair ciptaan wartawan seksi kebudayaan dari PWI Jaya. Lirik-lirik lagu bersemangat kerakyatan yang dibawakan anak-anak IKJ dan kelompok Musik Jalanan. Bahkan doa-doa yang dibawakan teater ngaji, Sanggar AS IAIN Jakarta. Semuanya senada. Semuanya satu suara. Nyanyian kegelisahan. Pekik kepedulian. Tentang pengangguran, (Kata orang negeriku makmur, kenapa banyak orang pada menganggur), tentang lingkungan (Tatkala hutan bisa disulap menjadi emas atau padang pasir) tentang kependudukan, ketidakadilan, kesenjangan, kejahatan, korupsi, demokrasi. Juga tentang ratapan rakyat biasa, yang bak kecoak tak berdaya menghadapi bayang-bayang ketakutan dan ancaman, biar hanya ingin menjadi ketua RT atau kepala desa. "Kemerdekaan telah memberi kita pemerintah, lembaga-lembaga, parlemen, pendidikan, hukum, tentara, tak ketinggalan kadang rasa cemas dan kengerian .... Dengan penuh prihatin kita sering sukar mencari antara hasil-hasil yang banyak jenis dan banyak jumlah itu dengan cita-cita dan tujuan kemerdekaan kita. Dalam getar pembangunan yang penuh pesona, selalu ada bayang-bayang bahaya semua yang sudah kita hasilkan itu negara, pemerintah, parlemen, ideologi, bursa saham, hukum, pers, kesenian, bahkan kemerdekaan itu sendiri -- menjelma menjadi berhala dan menjadi tujuan pada dirinya sendiri," kata Bur Rasuanto, Direktur Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki. Karena itu, katanya lebih lanjut, "Kita perlu melakukan doa kebudayaan, memperbarui kesadaran budaya kita, membersihkan dari limbah mesin akselerasi modernisasi yang kian berdaki. Kita memerlukan orientasi baru, yang membebaskan manusia dari belenggu takhyul pelestarian nilai-nilai. Yang kita perlukan bukan pelestarian, melainkan transformasi." Dan Bur Rasuanto pun lantas mengutip syair almarhum Djamil Suherman, Nyanyian Tanah Air, yang meratap rindu pada datangnya cinta dan harapan yang digembala oleh penghalau kemiskinan dan dosa. Pada pendapat saya, ungkapan itu tepat mencerminkan perasaan yang hidup di balik kecemasan dan kegalauan rakyat banyak. Tetapi, bukankah Allah adalah Tuhan yang Rauf, yang tiada habis-habis melimpahkan rahman dan rahimnya bagi umatnya yang bertakwa? Mengapa kita meratapi, bukannya berusaha mengungkap hikmah dari karunia, tantangan, dan cobaan yang digelarkan di hadapan umatnya berupa semua kenyataan sosial itu. Bukankah dijanjikan bahwa di balik semua cobaan terkandung ke-Mahabijaksanaan Allah? Maka, dalam doa kebudayaan, saya pun meringkaskan ratapan yang dicurahkan oleh seniman dan budayawan sore itu, dalam serangkaian permohonan. Ya, Tuhan, beberkanlah di hadapan semua, bangkitkan kemampuan kami membuat neraca, agar jelas bagi kami semua: siapa, memiliki apa, berapa banyak, berapa lama, atas beban siapa, dengan cara apa dan mengapa semua itu Engkau gelarkan, ya, Allah? Tunjukkanlah kepada kami, kepada para pemimpin kami, jalan lurus dan benar, menghantar bangsa kami ke dalam kehidupan yang engkau ridoi kehidupan yang menjunjung tinggi berkat dan martabat manusia. Karena manusia memikul tanggung jawab menjadi khalifah-Mu, berkewajiban mengamalkan kebajikan dan akhlak mulia, pancaran kebesaran-Mu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus