Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Dokter Terawan

Ada sejumlah nama yang jadi pembicaraan ramai hari-hari ini. Ada Sukmawati Soekarnoputri dengan puisi tentang ibu Indonesia yang anggun dengan kondenya

7 April 2018 | 07.00 WIB

Letkol CKM dr. Terawan Agus Putranto, Sp.Rad, dokter Spesialis radiologi Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD). Dok.TEMPO/ Jacky Rachmansyah
Perbesar
Letkol CKM dr. Terawan Agus Putranto, Sp.Rad, dokter Spesialis radiologi Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD). Dok.TEMPO/ Jacky Rachmansyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Ada sejumlah nama yang jadi pembicaraan ramai hari-hari ini. Ada Sukmawati Soekarnoputri dengan puisi tentang ibu Indonesia yang anggun dengan kondenya. Ada Ratna Sarumpaet dengan gaya yang teatrikal bersama mobilnya yang salah parkir lantas diderek. Lalu ada Terawan Agus Putranto, dokter yang dipecat sementara oleh organisasi profesinya, Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Yang mana hendak saya soroti? Tentu nama terakhir, karena terhindar dari kegaduhan tahun politik. Lagi pula Dokter Terawan sangat berwarna. Lulusan Universitas Gadjah Mada ini dengan gagah berseragam tentara berpangkat mayor jenderal, namun suka bernyanyi dengan pasiennya. Dia kepala rumah sakit tentara yang sangat terkenal, Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat, yang sering jadi rujukan para pejabat tinggi. Dia anggota tim dokter kepresidenan, sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sampai presiden kita yang sekarang, Joko Widodo. Tiba-tiba dokter yang telah menyembuhkan banyak elite ini dipecat sementara gara-gara menemukan cara pengobatan yang disebut--nama ini sangat aneh-"cuci otak".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Apa "dosa" Dokter Terawan yang sudah menyembuhkan budayawan Butet Kertaredjasa sampai politikus Aburizal Bakrie ini? Sebagai orang yang sering berhubungan dengan dokter--ini tak layak ditiru karena artinya saya sering sakit--saya bisa memahami "dosa" itu, meski tak harus sependapat.

Terawan menyandang gelar dokter spesialis yang diperolehnya dari Universitas Airlangga Surabaya. Namun keahliannya adalah di bidang radiologi, atau biasa disingkat Sp Rad. Dokter seperti ini tugasnya hanya membaca hasil roentgen, bukan memberikan obat. Kok bisa menangani orang stroke?

Ternyata dokter yang humoris ini--barangkali karena pernah mengobati "hilang ingatannya" Butet Kertaredjasa sehingga ketularan suka guyon--menempuh gelar S3 di Universitas Hasanuddin Makassar, dan di sana dia mengkaji secara ilmiah sistem pengobatan dengan digital subtraction angiography (DSA). Sistem itulah yang digunakan untuk menangani pasien "terduga stroke" di RSPAD.

Kalau dipaparkan dengan cara awam, sistem ini seperti menguras sumbatan di dalam got agar aliran air lancar. Metode ini menghancurkan sumbatan yang mengganggu aliran darah ke otak dengan pemberian obat menggunakan kateter di pangkal paha.Di situlah "dosa besar" Dokter Terawan. Sebuah penelitian kedokteran, sehingga hasilnya bisa dijadikan terapi penyembuhan, membutuhkan waktu bertahun-tahun karena tahapan yang dilalui sangat panjang. Penelitian harus terus-menerus diulang dengan sampel yang semakin besar dan dengan kondisi yang berbeda-beda. Semua risiko harus teridentifikasi sampai betul-betul aman.

Ini akar masalahnya sehingga IDI, lewat Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), menyebut Terawan melakukan pelanggaran etik berat dan memecatnya. Bagi MKEK, sistem pengobatan cuci otak itu belum teruji. Sedangkan bagi Terawan, sistem itu sudah diuji lewat disertasinya di Makassar dan sudah dipublikasikan di berbagai jurnal kedokteran. Lagi pula, faktanya, banyak orang disembuhkan.

Jika begitu halnya, jangan-jangan ini masalah komunikasi. Kenapa Dokter Terawan tidak dirangkul saja oleh IDI dan lupakan sejenak sekat-sekat keahlian, apakah itu ahli radiologi atau ahli saraf--dan saya paham di kalangan dokter, perkumpulan dokter ahli "lebih berbunyi" dibanding induknya, IDI. Duduklah bersama dan lakukan (lagi) pengkajian lebih lanjut, selaraskan teori dan kenyataan yang sudah jadi bukti. Para dokter tak usah ribut-ribut terimbas tahun politik. PUTU SETIA

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus