Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Drama Politik

Apa pun yang terjadi, Jokowi benar, terlalu banyak drama politik. Dan itu adalah produknya.

12 November 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik itu adalah seni. Sebagai seni, politik pun ada dalam bentuk drama. Entah drama tragedi atau komedi. Atau versi penyerta berupa horor, pengkhianatan, dan kesetiaan, tergantung siapa sutradaranya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Presiden Joko Widodo dalam sambutannya dalam acara ulang tahun Partai Golkar menyinggung drama politik itu. "Yang saya lihat akhir-akhir ini adalah terlalu banyak dramanya," kata Jokowi. Siapa yang menciptakan drama itu? Mari kita urut. Secara selintas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jokowi dianggap sukses menjabat Wali Kota Solo. PDI Perjuangan lalu mengusungnya sebagai Gubernur Jakarta. Semangatnya mengingatkan pada gubernur legendaris Jakarta, Ali Sadikin. Terutama dalam menarik perhatian. Misalnya, masuk gorong-gorong untuk melihat apa yang membuat gorong-gorong mampet yang menyebabkan banjir. Lalu ada pernyataan yang terkenal itu, urusan banjir akan mudah diatasi jika Jokowi menjadi presiden.

Jokowi pun diusung menjadi calon presiden sebelum masa jabatan gubernur selesai. Lawannya adalah Prabowo Subianto. Jokowi menang telak. Pada periode kedua, Jokowi kembali bertarung. Lawannya lagi-lagi Prabowo. Lagi-lagi menang. Lalu Jokowi menyuguhkan drama politik konsolidasi. Prabowo dirangkulnya menjadi menteri. Belakangan, Sandiaga Uno, calon wakil presiden (cawapres) pendamping Prabowo, juga diangkat sebagai menteri. Cuma Sandiaga diminta dulu menjadi anggota tim kampanye untuk Gibran sebagai Wali Kota Solo dan Bobby sebagai Wali Kota Medan. Gibran adalah putra sulung Jokowi dan Bobby adalah menantunya.

Drama politik selanjutnya bertema kesetiaan. Jokowi sebagai kader PDIP memberikan semangat untuk Ganjar Pranowo sebagai penggantinya. Bahkan, ketika Megawati akan mengumumkan Ganjar sebagai calon presiden, Jokowi yang sudah berada di Solo terbang ke Jakarta untuk menghadiri deklarasi itu. Selesai acara, dia balik lagi ke Solo.

Lakon drama kemudian berganti. Jokowi mulai menyadari cara memperpanjang kekuasaannya mengecil. Ide mengamendemen konstitusi untuk memberi peluang menjadi presiden tiga periode yang disampaikan para menterinya ditolak sejumlah partai, terutama PDIP. Ide menambah masa jabatan dua atau tiga tahun juga ditolak. Padahal alasannya mengganti kemandekan pembangunan selama masa pandemi Covid-19. Jokowi perlu ketenangan setelah lengser. Maka tema drama adalah memasukkan Gibran sebagai cawapres.

Ini drama politik yang riuh. Undang-Undang Pemilu tak membolehkan Gibran menjadi cawapres karena usianya belum 40 tahun. Tapi undang-undang bisa diuji materi lewat Mahkamah Konstitusi (MK). Jokowi punya adik ipar yang memimpin MK. Tinggal diatur siapa yang menjadi penggugatnya dan kapan saatnya MK memutuskan gugatan itu. Dicari hari yang dekat dengan penutupan pendaftaran di Komisi Pemilihan Umum agar putusan MK yang memuluskan jalan Gibran menjadi cawapres tidak bisa lagi digugat balik dengan gugatan baru. Waktu tak mencukupi.

Kita tahu semua, drama ini sukses. Gibran lolos jadi cawapres meskipun agak melenceng dari skenario awal, di mana Gibran maunya dipasangkan dengan Ganjar. Mega memilih Mahfud Md. untuk mendampingi Ganjar. Gibran lalu diambil Golkar untuk diusung mendampingi Prabowo. Adik ipar Jokowi, Anwar Usman, menjadi korban, dicopot dari jabatan Ketua MK.

Drama politik apa lagi setelah ini? Tampaknya masih berkisar antara keluarga Jokowi dan PDIP. Temanya pengkhianatan. Gibran dan Bobby dianggap berkhianat, tapi PDIP tak berani memecat mereka. Gibran dan Bobby dengan berbagai alasan belum juga menyerahkan kartu tanda anggota (KTA) yang diminta oleh PDIP.

PDIP bersedih dikhianati. Namun sebaiknya kesedihan itu tak usah berlama-lama. Harus diantisipasi drama baru kelak bertema pembegalan. Gibran dan Bobby bisa menghimpun kader-kader PDIP di daerah untuk melakukan “pembegalan partai” lewat kongres yang dipercepat. Apalagi mereka masih punya KTA partai dan berhak menyebutkan “ini suara kader”. Terlepas apakah Prabowo-Gibran memenangi pilpres atau tidak.

Apa pun yang terjadi, Jokowi benar, terlalu banyak drama politik. Dan itu adalah produknya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus