Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gutomo Bayu Aji
Pendiri Perkumpulan Partnership for Agriculture and Sustainable Livelihoods
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lima puluh enam tahun lalu, Presiden Sukarno menetapkan Hari Tani melalui Keputusan Presiden RI Nomor 169/1963 pada 26 Agustus 1963 di Jakarta. Pada bagian menimbang kesatu dituliskan bahwa "tanggal 24 September, hari lahirnja Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA), merupakan hari kemenangan bagi Rakjat Tani Indonesia, dengan diletakannja dasar-dasar bagi penjelenggaraan Land Reform untuk mengikis habis sisa-sisa feodalisme dalam lapangan pertanahan, agar Rakjat Tani dapat membebaskan diri dari matjam bentuk penghisapan manusia atas manusia dengan alat tanah, sehingga melempangkan djalan menudju ke arah masjarakat adil dan makmur".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Semangat Hari Tani lahir dari UU PA, yang merupakan tonggak sejarah nasionalisme Indonesia melalui perombakan dualisme sistem hukum pertanahan, yaitu sistem hukum kolonial dan sistem adat ke dalam sistem hukum pertanahan nasional atau unifikasi sistem hukum pertanahan. Unifikasi juga bisa dimaknai sebagai perombakan berbagai warisan kolonialisme dan feodalisme pada sistem hukum pertanahan.
Momentum nasionalisme inilah yang dirayakan oleh Sukarno dengan memberikan kado istimewa kepada petani berupa perayaan Hari Tani pada 24 September. Perayaan ini setidaknya dilakukan untuk menandai dua peristiwa: kebebasan rakyat tani dari kolonialisme dan feodalisme serta dimulainya musim labuh (musim tanam) pada akhir September. Perayaan ini juga menunjukkan rasa cinta Sukarno kepada petani, yang memberikan pangan kepada bangsa yang besar, yang ia bayangkan sebagai Indonesia ini.
Sukarno juga menginstruksikan sejumlah menteri, kepala daerah, instansi-instansi di dalamnya, organisasi-organisasi kemasyarakatan tani, dan front nasional untuk merealisasikan perayaan Hari Tani itu dengan kegiatan-kegiatan dan penyusunan rencana kerja untuk meningkatkan taraf hidup rakyat tani menuju masyarakat adil dan makmur.
Namun, pada hari ini, tiga peristiwa besar membangkrutkan perayaan Hari Tani. Pertama, lima tahun setelah lahirnya UU PA, Indonesia mengalami tragedi politik 1965, yang melibatkan kepentingan Barat, kemudian menganggap undang-undang itu kurang relevan. Hal serupa disampaikan oleh Menteri Agraria Sofyan Djalil, yang menyebutnya "arkais atau sudah tua".
Kedua, pembangunan (baca: neoliberalisme) hendak mentransformasi sistem pertanian skala kecil menjadi suatu strategi agribisnis melalui revolusi hijau. Selama lebih dari setengah abad terakhir, transformasi itu tidak menunjukkan keberhasilan, sementara petani kehilangan momentum nasionalismenya dan dilibatkan dalam transisi neoliberalisme secara besar-besaran.
Melalui sistem revolusi hijau, seluruh sumber daya petani dikendalikan secara terpusat, antara lain terlihat dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman yang mendesain sistem itu ibarat "kerajaan" dengan kekuasaan terletak pada pemerintah dan perusahaan-perusahaan swasta besar, termasuk yang mengemuka sekarang ini, yaitu perusahaan-perusahaan raksasa multi-nasional penguasa teknologi rekayasa genetika.
Ketiga, berbagai institusi yang diinstruksikan oleh Sukarno, terutama organisasi-organisasi kemasyarakatan petani, dibubarkan. Ke-18 ormas petani waktu itu telah digabungkan menjadi satu wadah organisasi, yaitu Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI). Walaupun setelah reformasi muncul berbagai ormas petani independen, mereka belum mampu mengembalikan kebangkrutan seluruh sumber daya petani.
Hari Tani yang dirayakan oleh sekelompok ormas petani independen hari ini telah kehilangan momentum nasionalismenya, sehingga terasa seperti lilin kecil di tengah pesta neoliberalisme. Rancangan Undang-Undang Pertanahan di tangan DPR sekarang akan menjadi kado neoliberalisme bagi petani, kado kedua yang memilukan rasa nasionalisme petani setelah kado pertama 56 tahun lalu yang menggelorakan semangatnya.
Dua kado pada Hari Tani itu juga menunjukkan transisi besar-besaran di dalam sistem pertanian dan pangan nasional. Jiwa sosialisme yang melandasi semangat lahirnya Hari Tani 56 tahun lalu, pada hari ini telah berubah menjadi wajah neoliberalisme. Sistem revolusi hijau, dominasi rezim pangan korporasi, dan rancangan Undang-Undang Pertanahan setidaknya menggambarkan hal itu.
Dari banyak sudut pandang, hampir tidak ada alternatif di luar cengkeraman neoliberalisme. Namun sudut pandang otonomi rumah tangga petani berkata lain. Di seluruh dunia, kini telah bangkit gerakan agroekologi sebagai alternatif sistem pertanian dan pangan neoliberalisme. Gerakan ini tumbuh dari berbagai praktik lokal dan semakin meluas menjadi ilmu agroekologi. Sistem ini berpusat pada pandangan tentang otonomi rumah tangga petani yang menjadi dasar sistem pertanian berkelanjutan.
Di Indonesia, Tanah Air yang bergunung dan berlembah dengan iklim tropis merupakan salah satu surga agroekologi dunia. Boleh dibilang Indonesia merupakan "tanah air agroekologi" yang diwariskan nenek moyang bangsa kita. Sistem ini dipandang lebih produktif dalam satuan hektarenya, menjamin keanekaragaman hayati, melekat pada budaya setempat, dan berkelanjutan.
Tidak berlebihan bila kini organisasi-organisasi kemasyarakatan petani independen merayakannya dengan cara alternatif, yaitu menolak rancangan Undang-Undang Pertanahan, kado kedua yang memilukan rasa nasionalisme petani, seraya menyalakan lilin kecil otonomi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo