Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Kekerasan Berulang di Ruang Tahanan

Penyiksaan untuk mengorek pengakuan masih terjadi di kepolisian. Tewasnya Dul Kosim adalah fenomena gunung es kultur kekerasan.

 

7 Maret 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari waktu ke waktu, tindakan kepolisian semakin sewenang-wenang. Tidak lagi menjadi pengayom dan penjaga keamanan seperti diamanatkan undang-undang, perilaku anggota institusi ini belum lepas dari kultur kekerasan. Metode penyiksaan untuk mengorek pengakuan dalam pemeriksaan mengindikasikan reformasi kepolisian hanyalah slogan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tewasnya Dul Kosim, 38 tahun, di tangan polisi membuktikan bahwa perilaku biadab itu masih terjadi. Polisi menuduh Dul Kosim sebagai kurir narkoba. Selama interogasi, ia mendapat siksaan. Pukulan berkali-kali menghunjam wajahnya. Begitu pula tendangan dan sundutan rokok di sekujur tubuhnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia tewas keesokan harinya setelah sempat disekap di sebuah posko di kawasan Cipinang, Jakarta Timur. Yang mengenaskan, polisi membuang mayat Dul di tepi jurang di Jalan Raya Purwakarta, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Mereka kemudian merekayasa kematian itu seolah-olah kecelakaan.

Hasil autopsi menunjukkan sebaliknya. Dul mengalami perdarahan di usus halus, pembendungan darah di paru-paru dan otak, tulang iga patah, otot jantung robek, serta memar pada permukaan otak besar. Kasus ini menyeret delapan polisi anggota Reserse Narkoba Polda Metro Jaya. Mereka dijerat dengan pasal berlapis: pembunuhan biasa dan berencana. Perkara ini disidang di Pengadilan Negeri Jakarta Timur.

Cara-cara polisi menginterogasi untuk mengorek pengakuan Dul menabrak Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, serta Undang-Undang Polri. Polisi kerap menghalalkan segala cara demi mendapat pengakuan. Padahal dalam KUHAP disebutkan bahwa pengakuan tersangka bukan variabel utama dalam mengungkap sebuah kasus.

Yang lebih penting adalah alat bukti, keterangan saksi, serta dokumen pendukung lainnya. Dalam menyidik, polisi juga harus menghormati asas praduga tak bersalah—termasuk membuka askes bantuan hukum. Ini untuk menghindari kasus kriminalisasi dan salah tangkap.  

Karena itu, polisi mesti didukung bantuan teknis untuk memperoleh pembuktian secara ilmiah. Bantuan teknis itu antara lain laboratorium forensik, identifikasi, kedokteran forensik, psikologi forensik, serta digital forensik. Dengan begitu, penyidik tidak bergantung hanya pada pengakuan tersangka atau calon tersangka. Selain untuk menghindari praktik kekerasan dan kasus salah tangkap, pembuktian secara ilmiah membuat kerja kepolisian menjadi lebih profesional.

Kasus yang terjadi pada Dul Kosim merupakan fenomena gunung es dari budaya kekerasan di institusi kepolisian. Imparsial mencatat terjadi 32 kasus kekerasan yang melibatkan kepolisian selama 2023. Jumlah kasus itu baru sebatas yang pernah diliput media. Wajah buruk kepolisian juga tergambar dari data Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Selama 2019-2022, Kontras menemukan 27 dugaan rekayasa kasus oleh kepolisian, yang tersebar di 15 provinsi di Indonesia. 

Kekerasan yang berulang terjadi karena aspek kultural. Personel kepolisian belum memahami prinsip-prinsip HAM dalam kerja kepolisian. Mereka bahkan cenderung saling melindungi jika terjadi praktik penyiksaan dalam penyelidikan dan penyidikan.

Ketiadaan lembaga pengawas independen yang bisa menindak aparat kepolisian yang terindikasi menyiksa turut berkontribusi terhadap langgengnya budaya kekerasan. Selama ini Polri hanya mengandalkan Divisi Profesi dan Pengamanan. Dampaknya, tak jarang mereka yang terlibat kekerasan hanya dikenai sanksi ringan dan berpotensi mengulangi perbuatannya. Hanya segelintir yang berlanjut sampai proses persidangan.

Polisi harus mengakhiri segala bentuk kekerasan terhadap saksi ataupun calon tersangka dalam pemeriksaan—meskipun orang tersebut terindikasi melakukan kejahatan. Kultur kekerasan akan semakin menjauhkan polisi dari wajah yang profesional serta mengubur reformasi kepolisian yang dicita-citakan lebih dari dua dekade silam. 

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus