Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEBANYAKAN dinasti didirikan - dan dipertahankan - dengan kekerasan. Di abad ke-18 Voltaire mengatakan, raja pertama kali adalah seorang tentara - dan bukan pilihan Tuhan seperti ideologi di Eropa waktu itu mengatakannya. Kerajaan di Indonesia, baik yang maritim maupun yang pedalaman, yang berdasarkan ekonomi pertanian, menunjukkan pula pentingnya senjata dalam fungsi itu. Dalam sejarah Indonesia kita mengenal Ken Arok (abad ke-13), nenek moyang pertama raja-raja Singasari dan Majapahit, yang (tidak ditutupi oleh babad-babad) memulai kariernya sebagai kepala perampok. Raja pertama Mataram Islam (akhir abad ke-16) bergelar Senapati (Pemimpin Perang). Karier kekerasan Iskandar Muda dari Aceh (abad ke-17) sangat terkenal. Kerajaan-kerajaan maritim yang kecil oleh sumber-sumber kepustakaan Portugis atau Belanda sering disebut "negara-negara bajak laut". Padahal, kekuatan Barat sendiri di Asia, dari Portugis sampai kompeni-kompeni perdagangan bertindak sebagai perompak dengan politik blokade dan penenggelaman kapal-kapal dagang yang bukan dari mereka atau dengan pendudukan pelabuhan dan pengusiran raja-rajanya - seperti dilakukan VOC terhadap Pangeran Jacatra (1609) atau Portugis terhadap Malaka (1511). Dengan singkat, di masa lampau, antara politik, perdagangan, perompakan laut, usurpasi kekuasaan, dan perampokan, hampir tidak ada pemisah. Toh dalam zaman modern ini orang sering lupa bahwa salah suatu jalan paling cepat bagi mobilitas sosial, dan yang masih sering dipakai, adalah jalan kekerasan. Dahulu, raja menjadi maharaja dengan ekspansi militer dan bukan pembangunan ekonomi. Orang biasa (wong cilik) yang berambisi besar menjadi perampok. Dan kalau berhasil, ia dapat menjadi senapati. Kerajaan di Indonesia sering mengangkat seorang perampok menjadi lurah ataupun bupati/gubernur/penguasa lokal karena telah membuktikan dirinya dapat mengumpulkan upeti banyak dan dapat menguasai daerah, artinya juga dapat mengamankan wilayahnya. Prinsip kebijaksanaan semacam ini menurut Soemarsaid Moertono, sarjana ilmu politik kerajaan tradisional, juga dipakai untuk menangkap maling (dengan maling). Kepala pemberontak (politis) dan gembong perampok (kriminal) samar sekali perbedaannya di masa lalu. Penggunaan kekerasan bagi kerajaan menjadikan tentara unsur utama elite politik atau elite berkuasa. Kawan-kawan seperjuangan pendiri dinasti menjadi inti kaum priayi pada kerajaan Jawa. Raja Mataram, Senapati, seperti semua raja sebelumnya, mengklaim pemilikan seluruh tanah Jawa dan kedudukan sebagai Lord of Life artinya tenaga kerja. Dalam masyarakat primitif seperti kalangan pemburu, binatang yang bisa dibunuh si pemburu menjadi miliknya. Demikian juga dalam masyarakat tradisional, harta yang ditaklukkan si pemenang (entah dalam perang atau dalam intrik politik) menjadi kepunyaannya. Ungkapan paling sempurna dari konsep ini adalah bahwa raja, sang pemenang utama, adalah pemilik semua tanah, harta, dan nyawa. Tentu, raja tanpa kawan-kawan seperjuangan tidak dapat merebut kedudukannya jadi layak sekali kalau raja lalu membagi-bagikan rezeki kepada elite ini. Inilah prinsip sistem lungguh: raja membagi-bagikan tenaga kerja (cacah = keluarga petani) dan tanah kepada para priayi, atau di daerah maritim membagikan kedudukan seperti syahbandar yang memungut bea dari kapal, atau saham perdagangan, kepada para orang kaya. Pada kerajaan tradisional, bukan saja tidak ada perbedaan antara kekayaan pribadi dan kekayaan umum tetapi juga perbedaan fungsional antara jabatan militer - tempat kebanyakan elite politik berasal - dan jabatan pengumpul pajak, penggerak tenaga manusia untuk kerja bakti, atau pekerjaan administratif lain. Lain dari itu, elite penguasa Indonesia pada kerajaan tradisional, kecuali sang raja, biasanya tidak turun-temurun. Prinsip penguasa yang dapat dipecat menunjukkan bahwa elite politik Indonesia adalah elite jabatan (service nobility): seorang penguasa yang kehilangan jabatannya, penghasilannya kembali kepada raja. Sering pewarisnya diangkat kembali ke jabatan yang ditinggalkan, tetapi tidak selalu, sehingga ada juga keluarga-keluarga priayi tinggi yang akhirnya jatuh miskin atau kembali sebagai wong cilik. Karena yang di atas itu, maka ada daya tarik kuat antara harta dan politik, atau antara orang beruang, seperti pedagang, finansir, pengusaha di satu pihak, dan golongan penguasa politik di pihak lain. Golongan pertama memerlukan fasilitas usaha dan jaminan hak milik, sedangkan pihak lain memerlukan keuangan untuk program politik dan kekuasaan. Antara kedua pihak itu sering terjadi ketegangan dan konflik juga, tentu, karena baik modal maupun kekuasaan sering memiliki dinamikanya sendiri. Misalnya, dalam hal tanah petani yang ditaklukkan atau lungguh priayi yang jatuh, yang hartanya dapat disita raja demi kepentingan politik, demi keserakahan, atau hal lain. Menurut laporan-laporan Barat, harta para pedagang besar di kerajaan-kerajaan Indonesia - baik pesisir maupun pedalaman - tidak aman dari hak sita raja. Hal yang sama berlangsung pula di Eropa di Abad Pertengahan, abad ke-8 sampai ke-15.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo