Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PAGEBLUK Covid-19 bukan alasan untuk menurunkan kualitas pendidikan. Meski infrastruktur masih penuh kekurangan, akses Internet tidak merata, dan kualitas guru tak setara, itu bukan alasan untuk berhenti mencari cara. Taruhannya terlalu besar. Kegagalan satu generasi anak-anak Indonesia memperoleh pendidikan bisa berdampak pada masa depan negeri ini.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim tak boleh putus asa dan menyerah kepada keadaan. Keputusannya pekan lalu untuk memperbolehkan sekolah di zona kuning menggelar pembelajaran tatap muka terasa sebagai langkah pasrah yang cenderung gegabah. Padahal, sebelumnya, Mas Menteri sudah menegaskan hanya sekolah di zona hijau yang bisa beroperasi kembali.
Upaya memastikan murid-murid tetap belajar jelas tak boleh mengorbankan keselamatan bersama. Protokol kesehatan harus tetap diutamakan. Ini memang tak mudah. Dibutuhkan kerja sama, kreativitas, dan kesamaan pandangan dari semua pemangku kepentingan untuk mencari formula pendidikan yang paling tepat di era pandemi.
Buat negara seluas Indonesia, satu model saja pasti tak akan memadai. Setiap kampung, nagari, banjar, atau desa punya kekhasan sendiri, yang menuntut solusi yang juga berbeda. Untuk itu, pemerintah mesti mendorong sinergi antara otoritas kesehatan yang memegang data penularan, otoritas pendidikan yang memegang kunci sekolah, dan warga serta orang tua siswa buat mencari metode pembelajaran yang paling efektif.
Ujung tombak yang paling penting tentu para guru. Di mana pun mereka bekerja, di tengah kota dengan ketersediaan perangkat elektronik atau nun di daerah tertinggal yang terpencil tanpa akses komunikasi, guru tak boleh berhenti mengajar. Adalah tugas pemerintah memastikan berbagai perlengkapan yang mereka butuhkan untuk terus mendidik anak-anak kita, seraya tetap aman dari penularan virus corona, terus tersedia.
Tak hanya itu. Kementerian Pendidikan juga harus memberikan insentif agar para guru bisa berkonsentrasi mengajar. Jangan sampai mereka mesti mencari pendapatan tambahan di luar sekolah akibat krisis ekonomi yang kini di ambang mata. Anggaran Program Organisasi Penggerak senilai Rp 595 miliar bisa dibagikan kepada para guru. Mereka adalah pekerja esensial di tengah pandemi, tak ubahnya dokter dan tenaga kesehatan.
Agar guru tak tergagap mengajar di luar sekolah, pemerintah harus segera meluncurkan kurikulum permanen untuk pendidikan di era pandemi. Orang tua, yang kini kerap mengeluh karena terpaksa menjadi guru pengganti di rumah, mau tak mau memang mesti dilibatkan. Semua pihak harus bahu-membahu memastikan anak-anak Indonesia tak telantar.
Kebutuhan anak-anak selayaknya menjadi prioritas. Berbagai metode agar pembelajaran jarak jauh tak membuat mereka bosan dan mengalami stres mesti diuji coba. Selain itu, metode-metode baru untuk mengukur sejauh mana kemampuan siswa menyerap pelajaran perlu dipertimbangkan. Ujian akhir semester untuk menentukan kenaikan kelas, misalnya, jelas tak lagi relevan di era pandemi seperti sekarang.
Berbagai tantangan sekolah di tengah bencana Covid-19 ini menyadarkan kita bahwa infrastruktur pendidikan Indonesia masih amat tertinggal. Pemerintah seharusnya segera menggenjot investasi infrastruktur pendidikan. Komputer, perangkat lunak pendidikan, laboratorium, buku, akses Internet, dan berbagai sarana lain mesti dibenahi secara besar-besaran.
Tanpa semua itu, anak-anak yang tumbuh dan berkembang di masa pandemi ini terancam menjadi generasi yang hilang. Kalau itu sampai terjadi, kita semua yang rugi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo