Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah tak perlu tergesa-gesa menurunkan status pandemi Covid-19 menjadi endemi.
Penanganan Covid-19 yang masih amburadul akan menyulitkan penurunan status pandemi menjadi endemi.
Tingkat vaksinasi yang tinggi menjadi syarat mutlak penurunan pandemi menjadi endemi.
PEMERINTAH tak perlu buru-buru menurunkan status pandemi Covid-19 menjadi endemi. Dengan penanganan pagebluk yang masih amburadul, perubahan status itu lebih menimbulkan kesan sebagai pencitraan bahwa pemerintah berhasil mengendalikan wabah corona. Bahkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan terlalu dini menjadikan Covid-19 sebagai endemi karena virus itu terus bermutasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rencana perubahan status pandemi, wabah yang terjadi secara serentak dan meluas di berbagai daerah, menjadi endemi (penyakit yang berkembang di suatu wilayah) disampaikan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pada Ahad, 27 Februari lalu. Alasannya, kasus Covid-19 yang melanda Indonesia mulai melandai dan pemerintah terus mempercepat program vaksinasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penanganan wabah Covid-19 di negeri ini terbilang masih amburadul sejak pasien positif diumumkan pertama kali pada 2 Maret 2020. Hingga kini, data yang disampaikan pemerintah masih diragukan validitasnya. Pemerintah daerah bahkan pernah menahan data kasus positif agar level pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) tidak dinaikkan.
Pemerintah juga selalu kelabakan menutup pintu kedatangan dari luar negeri ketika berbagai varian virus baru bermunculan di negara lain. Alih-alih membereskan berbagai masalah karantina, yang menjadi ladang bisnis sejumlah pihak, pemerintah malah memberikan keistimewaan bagi para pejabat untuk menghindari kewajiban isolasi di tempat khusus.
Belum lagi kelakuan para pejabat yang meremehkan pagebluk dengan mengeluarkan pernyataan ngawur, misalnya corona tak tahan lama di negara tropis seperti di Indonesia. Atau munculnya kalung anti-Covid. Mentalitas rusak para pejabat itu membuat penanganan pandemi tidak berbasis sains dan mengakibatkan korban terus berjatuhan.
Seperti yang terjadi di sejumlah negara lain, Indonesia juga tengah menghadapi penularan virus corona varian Omicron. Meski kemampuan penularannya lebih cepat ketimbang varian Delta, Omicron cenderung menimbulkan gejala ringan dan relatif tak mematikan. Mungkin itu sebabnya angka mortalitas akibat Covid-19 di negeri ini terus menurun belakangan ini.
Pemerintah sempat membuat kebijakan gegabah pada awal penularan Omicron dengan mewajibkan sekolah tatap muka pada awal semester genap lalu. Padahal vaksinasi untuk anak-anak belum cukup menyeluruh dan baru sampai tahap pertama. Akibatnya, sekolah menjadi salah satu kluster utama penularan Covid-19 yang berdampak pula pada keluarga para murid.
Menurunkan status pandemi menjadi endemi membutuhkan kehati-hatian luar biasa. Ini misalnya terjadi di Swedia dan Denmark. Kendati tingkat vaksinasi dosis kedua lebih dari 99 persen dari jumlah populasi, dua negara itu belum menurunkan status pandemi menjadi endemi, melainkan baru sebatas mencabut semua pembatasan untuk mencegah penularan corona. Dua negara ini sadar betul bahwa angka penularan Omicron masih tinggi kendati tingkat keparahannya rendah.
Di Indonesia, saat ini masih ada empat provinsi yang capaian vaksinasi tahap pertamanya di bawah 70 persen. Meski injeksi vaksin dosis pertama mencapai 190,672 juta pada akhir Februari lalu, angka itu belum sampai 70 persen dari total penduduk Indonesia. Begitu pula vaksinasi dosis kedua baru mencapai 52 persen. Adapun capaian vaksinasi booster baru sekitar 3 persen dari jumlah penduduk.
Tak hanya mempercepat vaksinasi, pemerintah juga harus memastikan fasilitas kesehatan siap menghadapi kemungkinan munculnya varian baru yang bisa jadi lebih berbahaya ketimbang galur yang sudah diketahui. Tanpa adanya persiapan itu, penurunan status pandemi menjadi endemi masih jauh panggang dari api.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo