Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Saatnya Menata Industri Sawit

Tata kelola industri sawit mesti dibenahi sekarang juga. Agar sawit tak hanya memberikan sumbangan ekonomi, tapi juga keberlanjutan secara sosial dan ekologi.

2 Juni 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Tata kelola buruk industri sawit membuat bisnis ini melahirkan konflik sosial dan kerusakan lingkungan.

  • Sawit adalah berkah alam Indonesia yang dinikmati segelintir konglomerat.

  • Pemerintah harus membenahinya, tidak mengistimewakannya berlebihan, dengan memulai dari transparansi data.

PEMERINTAH harus secepatnya menindaklanjuti temuan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) perihal sengkarut pengelolaan industri sawit. Lembaga ini menemukan penguasaan lahan perkebunan sawit di tangan segelintir konglomerasi berujung pada sulitnya menata bisnis hilir sawit yang membuat komoditas hilirnya, seperti minyak goreng, mudah dipermainkan.    

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari 16,1 juta hektare perkebunan kelapa sawit, pekebun rakyat yang jumlahnya 99,9 persen hanya menguasai 41,35 persen lahan. Sedangkan pengusaha, yang berjumlah 0,07 persen, menguasai 54,42 persen lahan. Sisanya dikuasai oleh BUMN. Ketimpangan ini membuat tata kelola sawit berpusat di tangan konglomerat, yang melahirkan praktik kartel sehingga menyulitkan masuknya pemain-pemain baru, baik di hulu maupun hilir sawit.

Kelapa sawit sesungguhnya berkah alam buat Indonesia karena telah menjadi komoditas ekspor utama dan menggerakkan ekonomi. Indonesia kini jadi eksportir terbesar kelapa sawit, komoditas yang diperlukan dalam keseharian penduduk seluruh dunia. Namun tata kelolanya yang buruk membuat bisnis kelapa sawit lebih banyak merugikan lingkungan dan memicu konflik sosial. 

Karakter bisnis kelapa sawit memang memerlukan lahan luas agar industrinya efisien. Karena itu, ia memicu deforestasi. Perkebunannya yang monokultur membuat keragaman hayati punah. Pembukaan lahan memakai api meluaskan kebakaran hutan dan bencana asap. Pemberian izin yang ugal-ugalan disertai korupsi membuat tumpang-tindih pemanfaatan lahan memicu konflik sosial yang tak berkesudahan dengan masyarakat di sekitarnya.

Keuntungan ekonomi dari sawit akan berkelanjutan jika segi lingkungan dan sosialnya dijaga. Berkah alam Indonesia itu menjadi tak berwujud kesejahteraan karena ketimpangan penguasaan sumber daya alam selalu melahirkan kemiskinan akut.

Karena itu, memperlakukan bisnis sawit mesti berbeda dengan memperlakukan industri pada umumnya. Sekarang ada kecenderungan industri sawit mendapat keistimewaan. Pemerintah bersedia melanggar hukum dengan menolak membuka data pemilik HGU perkebunan sawit, pungutan ekspor dikembalikan kepada pengusaha berdalih subsidi biodiesel, aparat negara selalu berpihak kepada industri sawit dalam konflik-konflik pemanfaatan lahan dengan masyarakat.

Akibat proteksi berlebihan itu, negara dan seluruh rakyat Indonesia kini menanggung akibatnya. Tertutupnya data HGU membuat publik tak bisa mengetahui pemilik perkebunan kelapa sawit yang sebenarnya. Maka, jika kini Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan hendak mengaudit industri sawit untuk mengetahui pemilik hulu perusahaan-perusahaan sawit setelah tragedi kelangkaan minyak goreng, sesungguhnya itu terjadi karena ulah pemerintah sendiri yang melindungi mereka.

Kuncinya adalah transparansi dan regulasi yang adil. Dalam industri sawit, ada petani, ada kelompok masyarakat, ada distributor, ada industri pengolahan. Jika rantai bisnis ini dikuasai oleh hanya segelintir pengusaha, bisnis sawit tak akan berbuah kesejahteraan orang banyak. Mengingat dampaknya yang besar bagi sektor non-ekonomi, industri sawit juga mesti memberikan kompensasi besar kepada negara melalui pajak, pungutan, royalti, dan kewajiban-kewajiban lain untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 

Supaya jeweran KPPU dan janji audit Menteri Luhut tak sekadar pura-pura responsif setelah gagal mengendalikan harga minyak goreng, pemerintah mesti membuka data kepemilikan lahan sawit yang disimpan di ruang gelap Kementerian Agraria dan Tata Ruang, lalu mulai dengan audit data. Misalnya, yang sederhana, menetapkan luas perkebunan sawit yang riil dan aktual.

Data 16,1 juta hektare itu versi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia. Adapun menurut Komisi Pemberantasan Korupsi 16,8 juta hektare, Kementerian Pertanian melansir 12,3 juta hektare, kantor presiden 13 juta hektare, dan menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan lain lagi. Persoalan bertambah ruwet karena ada 3,1 juta hektare perkebunan sawit berada di kawasan hutan secara ilegal. Tanpa dimulai dengan transparansi data, membenahi industri sawit hanya omong kosong belaka.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Efri Ritonga

Efri Ritonga

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus