Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAGI Joko Widodo, panggung media sosial sungguh mahapenting. Demi sorotan di dunia maya itu pula dia menyingkirkan kepatutan sebagai presiden ketika bersama Menteri Pertahanan Prabowo Subianto hadir dan menjadi saksi gala pernikahan selebritas Muhammad Attamimi Halilintar-Titania Aurelie Nurhermansyah pada Sabtu, 3 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jokowi, juga Prabowo, secara pribadi memang punya hak menjadi saksi pernikahan siapa pun. Namun, dalam kondisi penularan virus corona belum terkendali dan banjir bandang melanda Nusa Tenggara Timur pada hari yang sama, tak perlulah Presiden dan pejabat lain hadir dalam pernikahan itu. Penghargaan terhadap mempelai dan keluarganya tak perlu ditunjukkan dengan datang dan menjadi saksi pernikahan. Cukup kembang papan yang mewakili para pejabat itu. Kalau mau memberi hadiah khasnya, Jokowi bisa mengirim sepeda untuk kedua mempelai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kehadiran Jokowi justru menimbulkan pertanyaan soal konsistensinya dalam menangani pagebluk. Ia kerap mengeluh soal pandemi yang mengakibatkan perekonomian berantakan. Jokowi pun meminta masyarakat berdisiplin menjaga jarak dan menjauhi kerumunan. Namun, di sisi lain, ia malah hadir dalam hajatan pesohor, yang betapa pun ketatnya protokol kesehatan diterapkan berpotensi menjadi ajang penularan.
Memang kita tidak terlalu heran terhadap absennya keteladanan Presiden dan para pejabat negara. Dalam berbagai kesempatan, Jokowi telah menunjukkan aturan pembatasan sosial berlaku untuk semua orang, kecuali dirinya. Saat berkunjung ke Maumere, NTT, pada 23 Februari lalu, misalnya, Presiden mengundang kerumunan dengan membagikan suvenir dari dalam mobil. Lucunya, Istana menganggap lumrah kerumunan itu dengan alasan merupakan spontanitas masyarakat. Tatkala pelanggaran itu dilaporkan ke kepolisian, kasusnya langsung ditolak.
Jokowi bisa jadi menikmati berselancar dalam kerumunan, termasuk di media sosial. Atta Halilintar tercatat memiliki lebih dari 27 juta pengikut di akun YouTube-nya, terbanyak di Indonesia dan Asia Tenggara. Setiap konten yang dihasilkannya di media sosial, termasuk kisah percintaannya, ditonton setidaknya ratusan ribu kali. Acara lamaran dan pernikahannya yang disiarkan langsung tentu menjadi magnet bagi para politikus untuk menunjukkan eksistensi sekaligus menaikkan popularitas di kalangan netizen. Dan Jokowi menjadi aktor dari pertunjukan tersebut. Peran itu bahkan menjadi berita resmi kenegaraan karena dimuat di situs Sekretariat Negara. Lengkap sudah negara ini menjadi republik konten.
Dalam kondisi perekonomian yang masih compang-camping, sikap Presiden itu tak memperhatikan etika pejabat publik. Sebulan sebelum pernikahan itu, Badan Pusat Statistik melaporkan jumlah penduduk miskin pada September 2020 meningkat 1,13 juta orang menjadi 27,55 juta orang. Namun Presiden malah larut dalam budaya media sosial yang dangkal, mempertontonkan status dan kemewahan hidup para pesohor.
Presiden dan para pejabat negara sebaiknya lebih berhati-hati dalam setiap penampilan mereka di muka umum. Tak hanya harus lebih peka terhadap kondisi sosial, Jokowi juga perlu mempertimbangkan manfaat yang didapat publik, bukan hanya segelintir orang, dalam berbagai aktivitasnya. Persoalan receh seperti pernikahan selebritas biarlah diurus orang lain. Presiden Indonesia yang hanya satu orang lebih baik berfokus mengurus kepentingan publik yang lebih besar.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo