Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
FIRLI Bahuri adalah titik kumpul—pertemuan sejumlah kepentingan yang menginginkan Komisi Pemberantasan Korupsi masuk kubur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada partai politik, yang sudah lama geram kepada KPK yang tak henti menangkap anggota mereka yang tersangkut korupsi. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat lalu menyetujui revisi Undang-Undang KPK, yang jelas-jelas melemahkan lembaga antikorupsi tersebut. Ada Presiden, yang atas nama “pembangunanisme”, menganggap KPK sudah membuat investor takut dan para pejabat tak berani mengambil keputusan. Ada pengusaha hitam, yang bernapas lega ketika Firli dua tahun lalu terpilih sebagai Ketua KPK. Pendeknya, Firli adalah harapan bagi mereka yang rungsing oleh sepak terjang KPK.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di bawah kepemimpinan Firli, KPK membusuk. Ini bukan semata soal 51 pegawai yang tersingkir lewat tes wawasan kebangsaan yang heboh itu, tapi juga perihal sistem kerja yang porak-poranda. Prinsip kolektif kolegial—keputusan diambil bersama-sama oleh lima pemimpin—telah dilanggar. Komisioner yang berbeda pendapat dikuntit dan diamati—setidaknya demikian kesaksian mereka kepada sejumlah sejawat. Sejak bulan-bulan pertama kepengurusan KPK 2019-2023, Nawawi Pomolango, satu komisioner, mengeluh tentang suasana kerja yang tak sehat. Ia bahkan sempat berniat mengundurkan diri.
Prinsip kerahasiaan dalam penanganan perkara diterabas. Gelar perkara yang biasanya disegel agar tak bocor malah dibiarkan berlubang. Banyak kasus penting jalan di tempat. Pengembangan kasus bantuan sosial yang melibatkan mantan Menteri Sosial, Juliari Batubara, mandek. Pengusutan Herman Hery dan Ihsan Yunus, dua kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang kuat diduga ikut terlibat, tak jelas. Bahkan nama mereka hilang dari berkas dakwaan.
Busuk di kepala, busuk pula badan dan ekor. Di era Firli, pimpinan Komisi bebas bertemu dengan orang beperkara. Komisioner Lili Pintauli Siregar ditengarai bertemu dengan Wali Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara, nonaktif, Muhammad Syahrial, ketika KPK tengah menelisik perkara yang melibatkan sang Wali Kota. Dilaporkan ke Dewan Pengawas, tak jelas kapan perkara Lili akan diproses.
Tapi jangan bermimpi Dewan Pengawas akan trengginas. Dibentuk berdasarkan Undang-Undang KPK versi revisi, Dewan merupakan organisasi yang diciptakan “seolah-olah” untuk mengontrol komisioner dan mencegah mereka bersikap sok jago. Dalam perkara Firli, terbukti Dewan Pengawas tak bergigi.
Lihat saja nasib aduan terhadap Firli saat dia menggunakan helikopter dalam perjalanan pribadi di Sumatera Selatan. Kasus itu berakhir antiklimaks: ia hanya diberi teguran tertulis. Dewan Pengawas tidak melakukan pengecekan saat Firli mengklaim menyewa helikopter itu dengan harga Rp 7 juta per jam. Padahal sejumlah lembaga swadaya masyarakat menyebutkan harga sewa helikopter jenis Eurocopter 130 T2 yang dipakai Firli setidaknya Rp 140 juta untuk empat jam penerbangan. Kuat diduga Firli tak menyewa helikopter itu, melainkan mendapat pinjaman dari swasta.
Diisi tokoh publik yang digembar-gemborkan bersih dan lurus, Dewan Pengawas KPK terbukti cuma tempelan. Entah apa yang membuat tokoh terhormat seperti mantan hakim Albertina Ho, pengamat politik Syamsuddin Haris, dan bekas pemimpin KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean, tak berkutik menghadapi Firli. Kita semula berharap mereka tak lunglai karena tekanan dan ancaman.
KPK memang tak lagi bisa diharapkan. Hingga konstelasi politik berubah menjadi lebih baik, Komisi akan jadi ayam sayur, bahkan lebih buruk jadi tukang pukul. Pengusutan korupsi dan operasi tangkap tangan boleh jadi tetap dilakukan, tapi bukan untuk penegakan hukum, melainkan sebagai bagian dari tawar-menawar bisnis dan politik.
Para komisioner, anggota Dewan Pengawas, penyidik, dan karyawan lain hendaknya tidak tinggal diam. Kecuali mereka menikmati kondisi ini, seyogianya mereka melawan. Bukan saatnya mengeluh. Mereka harus memprotes segala kekacauan, bahkan jika perlu mundur dari jabatan.
Mundur bukan pertanda kalah. Mundur merupakan wujud tingginya sikap moral. Jika dilakukan secara bersama-sama, mundur dapat menjadi alat tekan yang efektif.
Firli tidak bisa dibiarkan merajalela. Sebagai titik kumpul, ia memang tak berdiri sendiri. Ia menjadi tumpuan para penentang KPK: DPR, presiden, aparat hukum, dan kekuatan modal pengusaha hitam.
Perlawanan harus dilakukan. Penentangan terhadap kongsi jahat penghancur KPK akan menentukan kualitas moral komisioner dan pegawai Komisi yang tersisa: maukah mereka melawan—sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo