Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INTIMIDASI terhadap korban kejahatan seksual dan pendampingnya di Jombang, Jawa Timur, kian menegaskan perlunya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Pengesahan aturan yang terus tertahan di Dewan Perwakilan Rakyat itu menyulitkan korban mendapatkan keadilan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan alasan kurang bukti, kepolisian Jombang menghentikan penyelidikan kejahatan seksual yang diadukan korban pada 2018. Dalih ini memberikan amunisi kepada terlapor, anak seorang tokoh agama yang populer di kotanya, untuk balik menuduh pelapornya. Ia menganggap laporan kepada polisi itu hanya fitnah. Ia pun mengerahkan pendukungnya untuk mengintimidasi korban dan pendampingnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peristiwa di Jombang ini merupakan gambaran betapa sulitnya korban kejahatan seksual memperoleh keadilan. Korban terancam intimidasi dari orang yang mereka laporkan. Dalam beberapa kasus, pelaku bahkan melaporkan balik korban dengan tuduhan pencemaran nama. Parahnya, aparat memproses pengaduan ini, termasuk menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Korban makin terpojok dengan membawa luka psikologis dan trauma yang dalam.
Upaya memperoleh keadilan hukum begitu rumit. Bagi para korban, menuntut pelaku ke muka hukum akan menimbulkan luka lain. Mereka harus bersaksi untuk meyakinkan hakim dalam pembuktian formal. Sementara itu, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tak menyediakan mekanisme “lindungi dulu, adili kemudian”.
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual diperlukan karena mengedepankan asas restoratif untuk melindungi korban selama pengusutan hukum hingga pemulihannya. Tanpa aturan yang bisa melindungi korban pemerkosaan dan mekanisme peradilan terhadap pelaku, kejahatan seksual dianggap sebagai wilayah pribadi. Penyelesaiannya acap kali dilakukan dengan “cara-cara damai dan kekeluargaan” yang merugikan korban.
Tekanan kepada korban makin besar jika pelakunya dari kalangan keluarga terpandang, seperti yang terjadi di Jombang. Karena pelaku kekerasan seksual adalah anak seorang kiai yang dihormati masyarakat setempat, para korban harus menerima penyelesaian “kekeluargaan”, yaitu ganti rugi uang. Status sosial kiai dan keluarganya pun bisa memobilisasi santri-santri untuk ikut mengintimidasi korban dan pendampingnya.
Indonesia perlu naik kelas dengan melahirkan hukum yang melindungi korban kejahatan seksual. Gerakan #MeToo yang memberikan keberanian kepada korban kekerasan seksual untuk bersuara di Amerika Serikat layak menjadi contoh. Kekerasan seksual harus dibawa ke tempat terang dengan hukum yang imparsial. Tanpa aturan hukum yang berpihak kepada korban, kejahatan seksual selamanya akan dianggap sebagai kejahatan ringan.
Korban kekerasan seksual tak hanya menimpa perempuan. Kejahatan seksual bisa menimpa siapa saja tanpa memandang gender dan usia. Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual akan menyediakan perlindungan terhadap korban dan memaksa negara tak lagi mengabaikan mereka.
Intimidasi korban kejahatan seksual di Jombang merupakan alarm yang makin keras. Menurut catatan Komisi Nasional Perempuan, ancaman kejahatan seksual sering kali berasal dari orang-orang terdekat atau yang dihormati. Komnas Perempuan mencatat tahun lalu kasus kejahatan seksual sebanyak 299.991—angka yang seharusnya membuat kita sadar Indonesia butuh segera Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo