Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPUTUSAN Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengizinkan pembangunan jalan membelah Hutan Harapan di Jambi dan Sumatera Selatan merupakan langkah mundur bagi upaya dunia mengatasi perubahan iklim. Tindakan Menteri Siti Nurbaya itu juga mempermalukan perjuangan keras Indonesia menurunkan emisi 11,2 juta ton setara karbon dioksida pada 2016-2017, sebuah ikhtiar yang diapresiasi pemerintah Norwegia dengan pencairan dana hibah Rp 813 miliar pada September nanti.
Pembukaan jalan tambang di tengah hutan itu bak pisau bermata dua yang menusuk upaya mitigasi perubahan iklim di Indonesia: selain merusak hutan yang menyerap emisi, jalan tersebut merayakan industri batu bara yang menjadi biang keladi pemanasan global. Jalan tambang yang membentang 26 kilometer di Hutan Harapan itu tak hanya akan mengorbankan hutan sekunder di sana, tapi juga mengancam keanekaragaman flora dan fauna di area restorasi.
Restorasi ekosistem adalah kebijakan terobosan pemerintah Indonesia yang diluncurkan pada 2007 sebagai cara baru mengelola rimba. Inisiatif ini muncul setelah 34 juta hektare tutupan hutan alam Indonesia rusak akibat manajemen tak lestari industri kayu sejak masa Orde Baru pada 1970-an. Hutan Harapan di Jambi dan Sumatera Selatan adalah salah satu pionir untuk kebijakan ini. Area hutan di sana perlahan diperbaiki PT Restorasi Ekosistem Indonesia serta dijaga dari ancaman kebakaran, perambahan, dan pembalakan liar. Pelbagai yayasan dunia yang peduli lingkungan juga mengucurkan bantuan cukup besar untuk Hutan Harapan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hutan seluas 98.555 hektare ini amat penting sebagai habitat satwa endemis Sumatera yang tersisa. Area itu menjadi jalur perlintasan hewan payung semacam harimau, gajah, dan beruang madu. Jika jalan tambang dibangun, hewan langka ini terancam punah, apalagi habitatnya yang sekarang juga tergerus oleh konversi hutan menjadi perkebunan, pertambangan, dan pertanian. Kehilangan hewan payung akan membuat keseimbangan ekosistem terganggu.
Keputusan Kementerian Lingkungan Hidup mengizinkan pembangunan jalan petaka ini terasa mengejutkan karena permintaan serupa yang diajukan PT Musi Mitra Jaya, anak usaha Grup Atlas, pada 2012, sudah ditolak. Perusahaan itu berencana membuka jalan baru sepanjang 88 kilometer karena jalur lama sepanjang 133 kilometer dinilai terlalu memutar dan sempit. Di belakang rencana ini, ada kepentingan sejumlah perusahaan tambang yang sudah lama mengeluh jalan itu tak cukup memadai untuk mengangkut batu bara yang diekspor ke Cina dan India.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 2018, PT Marga Bara Jaya, anak usaha Grup Rajawali yang dimiliki taipan Peter Sondakh, melanjutkan permohonan izin pembangunan jalan tambang di tengah Hutan Harapan. Masyarakat adat, organisasi masyarakat sipil, hingga pemerintah provinsi Jambi dan Sumatera Selatan kompak menolak rencana itu. Bahkan Badan Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup sendiri menilai pembukaan jalan itu tak sesuai dengan usaha pemulihan hutan.
Tak hanya tumpang-tindih dengan izin restorasi ekosistem yang dipegang PT Restorasi, permohonan Marga Bara Jaya juga tak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang penyusunan rencana dan pengelolaan hutan. Izin jalan tambang bertentangan pula dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 27 Tahun 2018 tentang pedoman pinjam pakai kawasan hutan.
Malang tak dapat ditolak, lobi Rajawali ternyata sakti. Menteri Siti Nurbaya menerbitkan aturan baru tentang pinjam pakai kawasan hutan. Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2019, Siti menambahkan satu sub-ayat pada pasal 12 yang mengizinkan pembukaan hutan untuk jalan angkut tambang. Revisi itu menjadi dasar izin jalan tambang PT Marga Bara Jaya seluas 424,41 hektare. Surat keputusan itu diteken Siti tiga hari sebelum masa jabatannya di kabinet periode pertama Presiden Joko Widodo berakhir.
Meski sekilas tampak legal, izin Menteri Siti jelas melanggar Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Regulasi itu mensyaratkan perusahaan tambang harus memiliki izin jalan sebelum eksploitasi, bukan sebaliknya. Untuk memenuhi kebutuhan pengusaha batu bara, Kementerian Lingkungan Hidup bisa menyarankan rencana jalan tersebut dibangun di luar area restorasi, misalnya melalui kawasan hutan tanaman industri di sekitarnya.
Dalam Konferensi Perubahan Iklim di Paris pada 2015, Presiden Jokowi berjanji menurunkan emisi karbon Indonesia sebanyak 855 juta ton atau 29 persen pada 2030. Pembangunan jalan tambang di Hutan Harapan akan menyulitkan Jokowi memenuhi janji itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo