Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DEMIT demokrasi itu bernama jabatan presiden tiga periode. Ia lahir dari pikiran cacat orang-orang megalomania yang mengatasnamakan suara rakyat. Presiden Joko Widodo sejak awal semestinya tegas menolak usulan yang menabrak konstitusi dan semangat pembatasan kekuasaan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Faktanya, dalam “musyawarah rakyat” yang didesain relawan Jokowi di Bandung, Jawa Barat, 28 Agustus 2022, demit itu kembali diproduksi dan diamplifikasi. Pro Jokowi, kelompok relawan itu, menempatkan nama Jokowi di urutan nomor satu sebagai calon presiden 2024. Sebagai pemanis, Pro Jokowi juga menyebutkan nama Sandiaga Uno dan Ganjar Pranowo di urutan kedua dan ketiga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wacana presiden tiga periode sempat membikin gaduh ruang publik pada awal 2022. Bedanya, kala itu yang memancing kegaduhan adalah para pembantu resmi Jokowi. Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto yang pertama kali menyuarakan wacana presiden tiga periode setelah bertemu dengan pekebun sawit di Riau, Februari lalu.
Dua bulan kemudian, giliran Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengklaim bahwa 110 juta warganet meminta penundaan Pemilihan Umum 2024. Sebelumnya, ide yang sama digulirkan oleh Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia pada Januari 2022.
Lantas bagaimana sikap Jokowi? Sama seperti pada kesempatan sebelumnya, kali ini Jokowi menanggapi wacana tiga periode dengan pernyataan ambigu dan bersayap. Di satu sisi, ia menekankan bahwa dirinya adalah presiden yang taat konstitusi. Tapi, di sisi lain, Jokowi juga mengatakan bahwa aspirasi apa pun, termasuk usulan presiden tiga periode, sah dibahas dalam musyawarah para relawan tersebut.
Konstitusi dengan tegas membatasi jabatan presiden sampai dua periode. Pembatasan itu merupakan salah satu kesepakatan politik mendasar di awal era reformasi. Sidang MPR menyepakati pentingnya pembatasan masa jabatan presiden melalui amendemen Undang-Undang Dasar 1945. Pertimbangannya, masa jabatan presiden yang tidak dibatasi telah memunculkan rezim otoriter seperti di masa Orde Baru dan Orde Lama.
Sebagai presiden terpilih secara demokratis, Jokowi semestinya berbicara tegas bahwa wacana tiga periode itu inkonstitusional. Katakanlah DPR dan MPR—yang kini dikuasai partai penyokong pemerintahan Jokowi—mengubah konstitusi, sehingga masa jabatan presiden bisa terus diperpanjang. Jokowi seharusnya menolak untuk maju kembali dalam pemilihan presiden untuk ketiga kalinya. Sebab, amendemen konstitusi yang melonggarkan pembatasan kekuasaan presiden bertentangan dengan asas konstitusionalisme itu sendiri.
Kelakuan Pro Jokowi yang terus menggaungkan usulan jabatan presiden tiga periode telah menggeser makna relawan. Semula, Pro Jokowi adalah kelompok sosial yang sukarela mendukung junjungannya. Kini, Pro Jokowi telah berubah menjadi sekelompok orang yang penuh kepentingan politik--yang menghalalkan segala cara--demi mempertahankan libido untuk berkuasa.
Secara etika politik, Jokowi tak bisa cuci tangan dari ulah pendukungnya yang “menghina” asas konstitusionalisme. Karena itu, Jokowi semestinya meminta para relawan menghentikan wacana presiden tiga periode. Agar kecambah otoritarian mati dan peralihan estafet kepemimpinan nasional berjalan secara reguler dan demokratis.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo