Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sulit diterima logika: dengan alasan mempercepat vaksinasi Covid-19, pemerintah mengizinkan perusahaan negara menjual senyawa pembentuk kekebalan tubuh itu. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sepatutnya membatalkan peraturan kontroversial ini. Ia seharusnya membuka akses seluas-luasnya terhadap vaksin, demi mengejar kekebalan komunal yang diharapkan bisa mengakhiri pandemi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Vaksinasi berbayar individu dibuka mulai hari ini melalui apotek-apotek PT Kimia Farma, yang mayoritas sahamnya dimiliki PT Biofarma, perusahaan negara penyedia vaksin. Layanan ini dimungkinkan melalui peraturan Menteri Kesehatan terbaru yang mengubah aturan sebelumnya. Perubahan ini memperpanjang daftar inkonsistensi pemerintah dalam penanganan pandemi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Program vaksinasi awalnya diatur melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 84 Tahun 2020, yang menyatakan vaksin diberikan gratis. Aturan itu diubah beberapa bulan kemudian dengan PMK Nomor 10/2021, yang menambahkan program gotong royong: vaksin untuk karyawan/karyawati, keluarga, dan individu lain terkait dalam keluarga yang pendanaannya ditanggung atau dibebankan kepada badan hukum/badan usaha. Pemerintah menggunakan vaksin Sinovac, AstraZeneca, Pfizer, dan Novavax untuk vaksinasi gratis, serta merek lain buat gotong royong.
Menepis tudingan bersikap diskriminatif, pemerintah hanya mengizinkan vaksin gotong royong melalui perusahaan, bukan individu. Program ini dimulai pada 18 Mei lalu yang disaksikan Presiden Joko Widodo, dan merupakan kerja sama pemerintah dengan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia. Kimia Farma pada saat itu menyatakan telah menandatangani pembelian 7,5 juta vaksin Sinopharm, yang datang secara bertahap dan akan disalurkan melalui perusahaan-perusahaan.
Ketika gelombang kedua penularan virus membuat sistem kesehatan kalang kabut, pemerintah menggencarkan vaksinasi. Pada saat inilah, Menteri Kesehatan kembali mengubah peraturan. Dalam PMK Nomor 19/2021, ada tambahan klausul yang membolehkan penjualan vaksin ke individu. Kimia Farma pun menjual vaksin Sinopharm setelah keluar aturan baru itu.
Vaksin berbayar individu ini melanggar janji pemerintah di awal untuk menyalurkan vaksin berbayar hanya kepada korporasi. Lebih dari itu, aturan ini menabrak prinsip kesetaraan kepada semua warga untuk memperoleh perlindungan dari negara, yang dijamin Konstitusi. Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar menyatakan, setiap orang berhak sehat serta berhak memperoleh layanan kesehatan. Penjualan kepada individu ini memberikan keuntungan bagi kelompok berpunya untuk lebih dulu memperoleh vaksin.
Pemerintah berdalih, vaksinasi berbayar individu ini dilakukan untuk memperluas akses terhadap vaksin demi mempercepat tercapainya kekebalan komunal. Kenyataannya, penjualan ini tak lebih dari kegiatan bisnis yang dilakukan perusahaan negara. Kimia Farma menangkap peluang bisnis pada saat meningkatnya permintaan vaksin akibat meledaknya penularan virus akhir-akhir ini. Perluasan akses vaksin seharusnya dilakukan dengan memperbanyak layanan vaksin gratis, termasuk misalnya mendatangi anggota masyarakat di daerah-daerah yang dikategorikan merah karena tingkat penularannya sangat tinggi.
Program vaksinasi pemerintah pun sejak awal terkesan mengutamakan kelompok pelaku bisnis. Alih-alih memberikan prioritas kepada kelompok dan wilayah rentan, vaksin diberikan di daerah sentra usaha. Padahal kekebalan kelompok bisa lebih cepat dicapai jika vaksinasi dilakukan sesuai dengan prioritas kerentanan, diberikan dengan cara yang mudah, dengan efikasi dan keamanan vaksin yang kuat, serta edukasi terus-menerus untuk mengurangi penolakan sebagian masyarakat.
Vaksin berbayar individu menjauhkan dari upaya ideal itu. Menteri Budi Gunadi sebaiknya membatalkan izinnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo