Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Polisi seharusnya menghentikan perburuan terhadap pembuat mural yang mengkritik Presiden Joko Widodo. Pembuat mural bukanlah kriminal, betapapun tajamnya kritik yang mereka suarakan. Reaksi aparat yang berlebihan justru bisa membahayakan kemerdekaan berekspresi, yang merupakan syarat bertahannya demokrasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Urusan semestinya selesai setelah petugas ketertiban umum daerah menghapus corat-coret di dinding tersebut. Yang telah dihapus antara lain mural bergambar wajah Jokowi dengan tulisan "404: Not Found" dan ”Tuhan, Aku Lapar” di Tangerang, Banten. Aparat juga telah melabur mural bertulisan "Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit" di Bangil, Pasuruan, Jawa Timur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Polisi yang terbiasa mengejar pelaku kejahatan seharusnya tidak cawe-cawe memburu pembuat mural. Biarlah itu menjadi urusan Satuan Polisi Pamong Praja bila mural tersebut dianggap mengotori keindahan kota. Respons justru menjadi overdosis ketika polisi mengumumkan akan mengejar pembuat mural. Apalagi polisi juga mengumbar ancaman pidana dan menuduh pembuat mural menghina presiden, yang mereka sebut sebagai simbol negara.
Menyamakan kritik terhadap presiden dengan penghinaan terhadap simbol negara jelas keliru. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tak memasukkan presiden sebagai simbol negara. Lagi pula, di negara demokrasi, presiden bukanlah tokoh sakral yang steril dari kritik. Lazimnya pejabat yang terpilih secara demokratis, presiden seharusnya bertanggung jawab kepada seluruh rakyat. Demi akuntabilitas, sepanjang waktu kinerja presiden perlu disoroti, bila perlu dikritik, oleh seluruh masyarakat.
Maka, ketika polisi berkeras memburu pembuat mural, segera muncul pertanyaan: polisi bertindak atas inisiatif sendiri atau ada perintah? Kalau itu atas inisiatif sendiri, polisi tinggal mengurungkan rencananya. Sudahlah, polisi tak usah mencari muka secara berlebihan.
Sangat memprihatinkan bila polisi bergerak atas arahan dari "atas" atau bahkan dari lingkaran Istana, misalnya. Tidak salah bila ada orang yang berprasangka seperti itu. Apalagi ada staf khusus Menteri Sekretaris Negara yang menyebut pembuatan mural tak berizin sebagai perbuatan melanggar hukum. Bila memang tak ada arahan dari lingkaran Istana, Presiden Jokowi selayaknya menegaskan hal itu dengan memerintahkan polisi menghentikan perburuan atas pembuat mural.
Sensor terhadap mural jelas pertanda kemunduran bagi kehidupan berdemokrasi. Mural seharusnya dianggap sebagai saluran lain bagi masyarakat untuk mengekspresikan pendapat. Sejak dulu mural sudah biasa digunakan oleh kelompok-kelompok yang kecewa dan suaranya tak terakomodasi di saluran resmi.
Bila kita menengok sejarah, yang takut kepada mural umumnya hanya rezim otoriter. Mereka memberangus semua kritik, termasuk yang berbentuk karya kreatif seperti mural. Pemerintah Uni Soviet, Korea Utara, Cina, dan Indonesia di era Soeharto punya catatan kelam soal itu.
Mural di alam nyata sama saja dengan meme berisi kritik kepada pemerintah yang bertebaran di media sosial. Alih-alih dibungkam, kritik semacam itu justru penting menjadi bahan refleksi: adakah yang keliru dalam pemerintahan saat ini? Bila mengkritik lewat mural saja terancam dipidana, jangan-jangan negeri ini memang tengah mengulang masa represif yang kelam. *
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo