Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pernyataan Presiden Joko Widodo yang menolak hasil tes wawasan kebangsaan dijadikan dasar pemberhentian 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sepintas terdengar heroik. Sikap itu seakan-akan menyelamatkan para pegawai KPK yang tidak lulus tes tersebut dari pemecatan. Tapi sebenarnya hal itu tidak menjamin pulihnya posisi mereka sebagai agen yang efektif dalam pemberantasan korupsi.
Pidato Presiden Jokowi itu disampaikan sangat terlambat, ketika kekacauan di tubuh komisi antirasuah sudah parah. Polemik peralihan status pegawai KPK menjadi aparat sipil negara sudah berujung pada penonaktifan 75 pegawai tersebut. Mereka dinilai tidak memenuhi syarat sebagai aparat sipil negara sehingga dicerabut dari tugasnya. Padahal, di antara mereka, ada yang sedang menangani perkara besar.
Kisruh di tubuh KPK tidak semestinya terjadi jika Jokowi punya komitmen kuat dalam pemberantasan korupsi. Semuanya bermula dari revisi Undang-Undang KPK oleh pemerintah Jokowi dan Dewan Perwakilan Rakyat serta disorongkannya Firli Bahuri, yang rekam jejaknya invalid, ke DPR oleh pemerintah sebagai calon pemimpin KPK. Pernyataan Jokowi yang “membela” pegawai KPK itu tidak menghapus tanggung jawabnya atas kerusakan komisi antikorupsi.
Meskipun menolak hasil tes wawasan kebangsaan dijadikan dasar pemecatan, Jokowi sebenarnya tidak mempersoalkan tes tersebut. Padahal inisiatif Firli menyelenggarakan tes ini patut dikecam. Tes tersebut tidak ada hubungannya dengan alih status kepegawaian yang tanpa syarat seperti amanat undang-undang, dan tidak relevan dengan kinerja serta capaian para pegawai KPK.
Tes wawasan kebangsaan juga bermasalah dari metodologinya. Pertanyaan tes ini merendahkan martabat perempuan dan menyudutkan keyakinan. Sejumlah pegawai ditanya tentang hal-hal pribadi, seperti hasrat seksual, pemakaian jilbab, hingga diminta membaca syahadat. Pertanyaan-pertanyaan tersebut sama sekali tak ada kaitannya dengan pemberantasan korupsi.
Hal itu makin memperkuat dugaan bahwa tes wawasan kebangsaan hanyalah kedok untuk menyingkirkan pegawai KPK yang dianggap sebagai duri dalam daging oleh pimpinan komisi antikorupsi, dan penyidik senior yang kerap menjadi motor penanganan kasus kakap. Perkara-perkara yang sedang mereka tangani dipastikan terganggu, bahkan terancam mandek. Sudah semestinya Dewan Pengawas KPK mengusut motif Firli menyelenggarakan tes tersebut.
Kekacauan dalam peralihan status kepegawaian ini adalah buah dari persekongkolan politik yang ingin mengubur KPK “lama” yang independen dan membentuk KPK “baru” yang bisa dikooptasi. Revisi Undang-Undang KPK akan dikenang sebagai warisan Presiden Jokowi oleh generasi mendatang, yang akan memandangnya sebagai orang yang paling bertanggung jawab menjungkirbalikkan berbagai capaian terbaik Indonesia dari reformasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo