Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bergulirnya kembali wacana pengampunan pajak atau tax amnesty jilid II perlu diwaspadai. Lima tahun yang lalu, ketika meluncurkan program tax amnesty jilid I, pemerintah berkali-kali menegaskan kebijakan serupa tidak akan diobral. Hanya ada sekali kesempatan bagi wajib pajak yang hendak mendapat pengampunan.
Tax amnesty jilid II menjadi perbincangan lagi setelah Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto melontarkan isu tersebut pada Rabu pekan lalu. Airlangga mengklaim, tax amnesty akan masuk ke materi pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP). Pemerintah sudah mengirim draf revisi Undang-Undang KUP ke Dewan Perwakilan Rakyat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lontaran Airlangga ini mengejutkan. Sejak perumusan draf revisi Undang-Undang KUP, Kementerian Keuangan tidak pernah memberi sinyal akan menggelar tax amnesty lagi. Yang sering mendengungkan isu itu justru kalangan pengusaha. Andai jadi dibahas pemerintah dan DPR, anggapan bahwa tax amnesty jilid II merupakan titipan para pengusaha sulit disangkal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah seharusnya belajar dari pelaksanaan tax amnesty jilid I. Pada 2016, pemerintah menawarkan penghapusan pajak terutang, denda administrasi, dan ancaman sanksi pidana bagi wajib pajak yang melaporkan hartanya serta mau memulangkan (repatriasi) uang yang mereka parkir di luar negeri. Wajib pajak yang jujur hanya wajib membayar uang tebusan yang jauh lebih kecil dari utang pajaknya.
Hasilnya jauh dari optimal. Dari target uang tebusan sebesar Rp 165 triliun, hanya terkumpul Rp 114,5 triliun. Realisasi repatriasi lebih rendah lagi. Uang yang kembali ke dalam negeri hanya Rp 146,7 triliun, jauh di bawah target Rp 1.000 triliun. Target meningkatkan rasio pajak pun belum tercapai. Pada 2017, rasio pajak terhadap produk domestik bruto justru turun menjadi 9,89 persen dari 10,36 persen pada 2016. Rasio pajak kembali melorot pada 2020 dan 2021 menjadi 7,9 dan 8,18 persen. Bandingkan dengan negara tetangga pada periode yang sama: Singapura dengan rasio pajak 14 persen, Malaysia 15 persen, dan Thailand 17,5 persen.
Banyak faktor yang membuat tax amnesty jilid I meleset dari target. Di antaranya adalah kurangnya persiapan, rumitnya aturan, hingga pendeknya waktu pelaksanaan. Ada pula faktor rendahnya kesadaran sebagian wajib pajak besar untuk mengikuti program tersebut.
Kini, masih terlalu pendek rentang waktunya untuk mengulangi program tax amnesty. Efektivitas pengampunan pajak yang berulang dalam waktu kurang dari lima tahun pun sangat meragukan. Siapa yang bakal menjadi target pengampunan pajak berikutnya? Wajib pajak yang taat ada kemungkinan belum punya banyak aset baru untuk dilaporkan. Sebaliknya, bagi wajib pajak yang nakal, tax amnesty jilid II justru akan memberi sinyal yang salah. Buat apa mereka taat membayar pajak? Toh, pemerintah akan memberikan pengampunan pajak lagi.
Di tengah lilitan pandemi Covid-19, pemerintah tentu berkepentingan untuk menggenjot penerimaan supaya anggaran negara tak terlalu bergantung pada utang. Faktanya, hingga kuartal pertama 2021, realisasi penerimaan pajak baru Rp 228,1 triliun, minus 5,6 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Angka ini baru 18,6 persen dari target penerimaan akhir tahun, Rp 1.229,6 triliun.
Ketika hampir semua sektor usaha tercekik, menggenjot penerimaan pajak bukan cara yang tepat. Dalam situasi serba sulit, pemerintah seharusnya menahan diri. Kurangi belanja selain yang sangat urgen. Lupakan proyek mercusuar seperti pemindahan ibu kota negara. Bila proyek ambisius semacam itu merupakan keinginan Presiden Jokowi, orang-orang dekatnya yang masih bisa berpikir jernih seharusnya berani mengingatkan sang presiden.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo