Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Kembalikan BUMN kepada Rakyat

Selama bertahun-tahun perusahaan negara menjadi sapi perah kepentingan politik. Saatnya memastikan badan usaha milik negara benar-benar menjadi lokomotif ekonomi nasional.

18 Juli 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TARIK-menarik kepentingan politik dalam penentuan komisaris badan usaha milik negara (BUMN) belakangan ini hanya bisa diakhiri jika paradigma pengelolaan perusahaan negara kita dirombak secara mendasar. Tanpa itu, rebutan kursi basah di semua BUMN akan terus terjadi dan kinerja perusahaan-perusahaan yang menguasai hajat hidup orang banyak itu bakal terus terpuruk.

Selama ini, pola pengelolaan BUMN memang cenderung menguntungkan elite politik yang sedang berkuasa. Dengan dalih mengamankan kepentingan nasional atau menjalankan program pembangunan, perusahaan negara kerap dipaksa mengabaikan kalkulasi bisnis dan merugi. Dalam jangka panjang, model semacam ini menghambat pertumbuhan bisnis BUMN dan mengurangi potensi keuntungannya.

Sudah saatnya pemerintah mengkaji opsi melepas kepemilikan BUMN ke pasar modal untuk sepenuhnya dimiliki publik. Dengan saham yang dikuasai merata oleh jutaan penduduk Indonesia, keuntungan perusahaan-perusahaan raksasa ini bisa dinikmati langsung oleh warga negara. Selain itu, intervensi kepentingan politik yang selama ini kerap membelenggu BUMN perlahan bisa dikikis.

Tanpa perubahan pengelolaan yang mendasar seperti itu, kisruh antara politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Adian Napitupulu, dan Menteri BUMN Erick Thohir seputar penentuan komisaris di badan usaha milik negara tak akan menjadi yang terakhir. Apalagi penelusuran majalah ini menemukan bahwa pembagian kursi komisaris perusahaan pelat merah untuk utusan partai politik dan petinggi kabinet sudah menjadi praktik yang lazim. Kalau bukan titipan pembesar yang punya pengaruh politik, jangan harap kaum profesional punya kans menduduki posisi kunci.

Penjualan saham BUMN kepada publik tak menyalahi undang-undang yang menghendaki perusahaan negara mencari keuntungan sekaligus memberikan pelayanan kepada publik. Kewajiban menjalankan sektor publik yang minim profit, misalnya, tetap bisa dilakukan dengan skema subsidi silang seperti yang sudah diterapkan.

Selama ini, faktor utama yang membuat BUMN sulit berkembang adalah ketidakjelasan indikator kesuksesan mereka di mata pemegang saham. Meski merugi secara finansial, direksi bisa tetap aman selama kepentingan komisaris terlayani dengan baik. Sebaliknya, jika komisaris terusik secara politik, direksi yang sukses membawa profit bisa terpental.

Kepentingan para komisaris pun tak seragam. Sebagai utusan politik, mereka tentu membawa warna masing-masing. Tak semuanya menempatkan pertumbuhan perusahaan dan kemampuannya menghasilkan keuntungan sebagai prioritas utama. Ini membuat direksi pun harus pandai membaca peta politik jika mau selamat.

Kondisi semacam ini harus diakhiri. Apalagi kini rebutan jabatan BUMN tak lagi terjadi diam-diam, tapi sudah terang-terangan di hadapan publik. Teladan harus dimulai dari level tertinggi. Presiden Joko Widodo tak bisa lagi memperlakukan jabatan direksi dan komisaris BUMN sebagai hadiah politik untuk para pendukungnya.

Langkah Menteri BUMN Erick Thohir untuk menyusun peta jalan perampingan badan usaha milik negara dan mendorong profesionalitas direksi dan komisaris sudah tepat, tapi tidak cukup. Semua upayanya bakal sia-sia jika struktur kepemilikan BUMN tak dibenahi. Apalagi jika praktik titipan politik untuk posisi-posisi kunci di perusahaan negara terus berlangsung. Energi Erick bisa habis untuk melayani konflik atau membagi-bagi konsesi politik.

Merombak komposisi direksi dan komisaris BUMN tanpa menyelesaikan masalah dasar soal kepemilikan perusahaan negara juga tak bakal berjalan mulus. Salah-salah Erick bisa dituduh memanfaatkan posisinya untuk kepentingan politik, sesuatu yang sudah dia alami saat ini.

Tentu, reformasi kepemilikan saham BUMN harus dilakukan secara bertahap. Presiden Megawati Soekarnoputri sudah memulainya ketika menjual saham Indosat seharga Rp 4,6 triliun kepada Temasek. Langkah itu diikuti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 2005 tentang privatisasi BUMN. Sebagian besar perusahaan negara yang kini melantai di bursa diprivatisasi di era Yudhoyono.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kini giliran Presiden Joko Widodo menuntaskan proses ini. Jumlah saham BUMN yang dilepas kepada publik bisa ditambah secara bertahap sampai mayoritas berada di tangan rakyat. Keberadaan saham merah-putih yang membuat pemerintah tetap memegang posisi penentu juga perlu dikaji. Terlebih jika posisi itu membuat pintu intervensi terhadap BUMN berlanjut meskipun sudah berstatus perusahaan terbuka. Dengan model ini, pemerintah tinggal menjadi regulator yang adil untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus