Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPERTI sudah diduga, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung menjadi beban tak berkesudahan. PT Kereta Cepat Indonesia-Cina (KCIC), yang menangani proyek sepanjang 142,3 kilometer ini, baru saja merombak direksi. Perusahaan ini terbelit problem serius: biaya diperkirakan membengkak 23 persen, sekitar Rp 20 triliun, dari perhitungan semula US$ 6,07 miliar atau Rp 88 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tambahan biaya itu berasal dari biaya yang tidak terhitung dalam studi kelayakan, seperti naiknya harga lahan saat pembebasan dan biaya yang tak terprediksi sejak awal. Karena penentuan trase yang kurang matang, proyek pun bersinggungan dengan berbagai fasilitas umum dan sosial yang harus direlokasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di luar soal pembengkakan biaya tersebut, studi kelayakan proyek ini dibuat asal-asalan. Hanya dalam waktu tiga bulan, studi kelayakan terbit karena mengejar keinginan Presiden Joko Widodo agar kereta cepat mulai beroperasi pada 2019—target yang terbukti meleset. Proyek yang selama tiga tahun diteliti oleh Jepang untuk kereta cepat Jakarta-Surabaya ini berbelok hanya sampai ke Bandung dengan penunjukan konsorsium perusahaan Cina.
Belum jelas dari mana tambahan untuk menambal anggaran itu. Pemerintah masih belum memiliki cara menambalnya selain mengurangi ongkos-ongkos tidak perlu dan efisiensi. Berapa pun tambahan biayanya, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung sejak awal membebani keuangan negara.
Sebanyak 75 persen biaya proyek ini berasal dari utang pemerintah Cina. Namun, pemerintah Cina menolak mekanisme penyaluran utang ke perusahaan dengan jaminan proyek itu sendiri. Cina ingin pemerintah Indonesia yang menjaminnya, sehingga utang disalurkan melalui sejumlah bank milik negara.
Dengan jaminan pembayaran oleh bank negara, pemerintah Cina tak perlu khawatir sekalipun kelak proyek ini mangkrak. Cina akan tetap mendapatkan uangnya kembali, plus bunga yang sudah berjalan. Maka, problem pembengkakan anggaran ini sebetulnya sudah bisa diraba jauh hari: pemerintah mempertaruhkan keuangan negara untuk proyek mercusuar yang belum tentu laku ini.
Kereta cepat Jakarta-Bandung bukan transportasi urgen saat ini. Dengan jalan tol Purbaleunyi, masyarakat sudah bisa menempuh Jakarta-Bandung dalam 3-4 jam, berkurang separuhnya dibanding lewat Puncak dan Cianjur. Kendatipun kelak proyek ini selesai, dengan ongkos Rp 300 ribu sekali jalan dan lama perjalanan yang diklaim kurang dari satu jam, biaya tiket kereta cepat sama dengan naik pesawat yang hanya setengah jam.
Kini, proyek kereta cepat menjadi simalakama pemerintahan Jokowi. Jika pembangunan infrastruktur yang tengah berjalan itu diteruskan, pemerintah harus siap-siap menambal biayanya. Pembengkakan tak bisa ditalangi pinjaman, sedangkan kas empat badan usaha milik negara yang memiliki 60 persen saham PT KCIC juga sudah tipis. Jika proyek dihentikan, negara mesti membayar utangnya kepada Cina.
Walhasil, proyek kereta cepat mencerminkan program Jokowi dalam semboyan “kerja, kerja, kerja”, tapi tanpa perhitungan matang.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo