Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SELAIN memberikan imunitas bagi pekerja, vaksin mandiri memberikan keuntungan bagi segelintir pengusaha besar. Sayangnya, program ini hanya bisa diikuti perusahaan-perusahaan yang kuat secara finansial. Banyak perusahaan yang tidak sanggup mengikutinya. Pemerintah seyogianya terus berfokus dalam program vaksinasi massal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Program vaksinasi mandiri yang diinisiasi Kamar Dagang dan Industri Indonesia ini bisa memperlebar kesenjangan masyarakat terhadap akses memperoleh vaksin. Sejak awal, program vaksinasi gotong-royong yang mulai berlangsung sejak Selasa, 18 Mei lalu, rawan disalahgunakan. Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2021 perihal pengadaan dan pelaksanaan vaksinasi membuka kesempatan perusahaan swasta memvaksin karyawan dan keluarganya secara mandiri. Berdasarkan peraturan presiden itu, komersialisasi vaksin bukanlah sesuatu hal yang melanggar hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski begitu, secara moral, komersialisasi vaksin di tengah pandemi semestinya dihindari. Itu sebabnya, pemerintah lebih terbuka kepada publik untuk menjelaskan seluruh penetapan harga vaksinasi mandiri, dari harga pembelian, distribusi, hingga biaya penyimpanan, termasuk tambahan margin keuntungan bagi perusahaan. Proses yang terang-benderang bisa menepis tudingan adanya komersialisasi dalam program vaksinasi gotong-royong. Apalagi margin keuntungan diberikan bagi perusahaan setelah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan menetapkan kewajaran harga.
Keinginan banyak perusahaan untuk memperoleh vaksin bagi pekerja dan keluarganya tanpa mengikuti antrean program vaksinasi gratis pemerintah memang “manusiawi”. Mereka tentu ingin menggerakkan bisnis secepat mungkin. Hanya, proses pengadaan dan penetapan harga vaksin tetap harus mengedepankan tata kelola pemerintahan yang bersih. Ini sekaligus untuk mencegah praktik monopoli yang menguntungkan segelintir perusahaan atau perkumpulan dagang.
Monopoli akses dan ketimpangan informasi hanya akan mendatangkan penumpang gelap. Dengan memiliki akses terhadap kekuasaan, pencari rente kerap menunggangi keruwetan pengaturan impor demi mengeruk keuntungan. Padahal kebijakan pemerintah seharusnya berpihak kepada kemaslahatan banyak orang, bukan malah “menginjak” sebagian besar perusahaan yang sedang kesusahan.
Sudah banyak perusahaan gulung tikar di tengah wabah. Mereka yang masih bisa bertahan ngos-ngosan menjaga arus kas agar tidak ikut-ikutan tumbang. Saat dunia usaha belum sepenuhnya pulih, wajar bila banyak pengusaha menilai program vaksin gotong-royong hanya akan menjadi beban perusahaan. Itu sebabnya, program vaksinasi mandiri belum menjadi prioritas sebagian besar perusahaan. Di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, misalnya, sejauh ini baru 10 persen perusahaan yang sanggup mengongkosi biasa vaksin bagi pegawainya. Padahal wilayah ini terkenal sebagai salah satu kawasan industri terbesar di Indonesia.
Dari sisi kepatutan, program vaksinasi mandiri seyogianya menunggu rampungnya proses vaksinasi massal bagi kelompok rentan lanjut usia, tenaga kesehatan, dan petugas publik. Data Kementerian Kesehatan per 21 Mei lalu menunjukkan: dari 40,3 juta sasaran vaksinasi tahap pertama dan kedua bagi tiga kelompok tersebut, total vaksinasi dosis pertama baru mencapai 36,4 persen dan vaksinasi tahap kedua sekitar 24,1 persen.
Masa pandemi adalah masa darurat perang. Program vaksinasi tidak boleh mendahulukan kepentingan pribadi, korporasi, ataupun kelompok dagang. Pemerintah harus tetap mempercepat dan memprioritaskan vaksinasi gratis nasional agar tidak terjadi diskriminasi dan kesenjangan atas akses memperoleh vaksin.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo