Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI negeri ini, beras memang sering dianggap komoditas politis. Namun, dalam menyediakan kebutuhan pokok ini, para pejabat sebaiknya tak bermain politik. Pertimbangan teknis yang transparan dan akuntabel harus menjadi pedoman utama. Impor beras, jika dibutuhkan, harus dilihat sebagai bagian dari instrumen pemerintah untuk menjaga persediaan bahan pangan utama itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada tiga indikator yang secara teknis bisa dipakai untuk menentukan perlunya impor beras: jumlah produksi dalam negeri turun, harga di pasar naik, dan stok di Bulog berkurang. Pengadaan beras dari luar negeri lazimnya dilakukan ketika setidaknya dua dari tiga indikator itu terpenuhi. Tiga alat ukur itu pula yang semestinya digunakan untuk menilai rencana pemerintah mengimpor beras sejuta ton pada tahun ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelum terjebak debat panjang, penting dipahami bahwa rencana impor ini pun sebenarnya baru berupa nota kesepahaman antara pemerintah Indonesia dan Thailand. Menurut Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, realisasi impor tidak akan dijalankan dalam waktu dekat. Presiden Joko Widodo juga menjamin tidak akan mengimpor beras sampai Juni tahun ini. Toh, isu impor beras kadung dimanfaatkan para politikus untuk meraih simpati publik. Banyak orang latah berkoar-koar menolak impor tanpa benar-benar memahami inti persoalannya.
Apakah impor beras saat ini diperlukan? Dilihat dari indikator pertama, produksi beras kini sedang dalam musim panen raya. Badan Pusat Statistik atau BPS memperkirakan produksi Januari-April mencapai 14,5 juta ton setara beras--meningkat 27 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.
Dengan produksi melimpah itu, harga beras di pasar cenderung turun. Menurut data BPS, harga beras berkualitas medium pada awal Maret turun dibandingkan dengan bulan sebelumnya, juga periode yang sama tahun lalu. Impor diperlukan jika harga melampaui satu setengah kali harga normal.
Pada indikator ketiga, stok beras di gudang Bulog saat ini 923 ribu ton. Jumlah itu cukup untuk memenuhi kebutuhan operasi pasar selama setahun ke depan. Namun stok itu relatif rendah dibandingkan dengan konsumsi masyarakat sekitar 2,5 juta ton beras per bulan--dihitung berdasarkan asumsi konsumsi 111 kilogram per kapita per tahun.
Meski begitu, perlu disebut bahwa Direktur Utama Bulog Budi Waseso menyatakan ada sekitar 106 ribu ton beras di gudangnya yang mendekati busuk. Beras itu merupakan sisa impor 1,8 juta ton pada 2018. Artinya, stok di gudang Bulog sebenarnya hanya sekitar 817 ribu ton.
Sayangnya, buruknya komunikasi publik pemerintah membuat isu impor beras menjadi bola liar. Para politikus menggoreng isu ini untuk kepentingan masing-masing. Kesejahteraan para petani, yang kerap menjadi dalih, malah dirugikan. Gara-gara ramai isu impor, harga panen mereka anjlok.
Menteri Lutfi semestinya menjelaskan rencana impor beras ini secara transparan sejak awal. Khalayak ramai perlu tahu, gara-gara pandemi, stok beras di pasar internasional tak stabil dan bisa sewaktu-waktu hilang. Kondisi ini berpotensi memicu krisis pangan. Karena itu, pemerintah perlu bikin ancang-ancang, antara lain dengan jauh-jauh hari menyiapkan alokasi impor beras.
Jika koordinasi di kabinet berjalan baik, silang pendapat para pejabat bisa dihindari. Keberatan Budi Waseso yang mengklaim Bulog bakal kesulitan menyerap panen atau menyalurkan stok beras tak perlu muncul. Apalagi masalah itu sebenarnya tak langsung terkait dengan impor beras. Berbagai kesulitan Bulog disebabkan oleh perubahan peran lembaga itu. Saat ini Bulog bukan lagi murni badan penyangga beras seperti di era Orde Baru.
Sebenarnya polemik ini mengungkap isu yang lebih mendasar: amburadulnya politik pangan kita. Sejak Bulog berubah menjadi perusahaan umum yang notabene merupakan entitas bisnis, lembaga itu tak lagi bisa optimal menjalankan fungsinya menyeimbangkan kepentingan petani dan konsumen di pasar. Dulu Bulog bisa membeli beras ketika harga anjlok karena produksi melimpah atau membanjiri pasar ketika harga melompat akibat kekurangan pasokan.
Ironisnya, Badan Pangan Nasional, lembaga yang semestinya terbentuk maksimal tiga tahun sejak Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan disahkan, sampai kini tak jelas nasibnya. Badan inilah yang seharusnya menjembatani koordinasi urusan pangan yang saat ini terpisah di Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara.
Tanpa pembenahan mendasar politik pangan kita, polemik impor beras akan selalu menjadi mainan politik para elite. Sementara itu, petani tetap tak sejahtera dan kepentingan konsumen tetap tak terlindungi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo