Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DEBAT kusir seputar banjir menunjukkan sempitnya wawasan Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Anies Baswedan mengenai strategi mengantisipasi bencana ini. Anies terjebak dalam retorika demi membela diri. Ia melupakan tanggung jawabnya sebagai seorang pemimpin untuk selalu berikhtiar menyelamatkan warga dan wilayahnya dari petaka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gubernur Anies semestinya tak terseret polemik yang tidak esensial atau terpengaruh caci maki di media sosial. Selama ini, baik pemerintah pusat maupun Pemerintah Provinsi DKI sudah memiliki strategi pengendalian banjir. Kebijakan seperti normalisasi sungai hingga pembuatan waduk telah dituangkan dalam peraturan daerah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat, boleh saja ia memiliki konsep yang berbeda dalam menangani banjir. Tak dilarang pula gubernur memenuhi janjinya dalam kampanye, misalnya tak akan menggusur permukiman. Persoalannya, janji itu tak mungkin bisa dilaksanakan jika bertentangan dengan perda atau kebijakan pemerintah pusat.
Kisruh pengendalian di Jakarta mulai terjadi setelah Anies menghentikan secara sepihak proyek normalisasi 13 sungai di Ibu Kota dan menggantinya dengan proyek naturalisasi. Tapi ia tak segera mengimplementasikan kebijakan tersebut. Akibatnya, tidak ada kemajuan sama sekali dalam menggarap proyek antibanjir.
Silang pendapatnya dengan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basoeki Hadimoeljono juga memberi kesan Anies tidak mau disalahkan. Basoeki menyebutkan pemerintah pusat tidak bisa meneruskan program normalisasi di Kali Ciliwung karena DKI terlambat membebaskan lahan. Masih ada 17 kilometer badan sungai yang belum tersentuh. Anies malah menjawab dengan mengatakan bahwa normalisasi kurang efektif jika tidak ada pengendalian banjir di hulu.
Gubernur seolah-olah ingin menuding balik pemerintah pusat. Selama ini, Presiden Joko Widodo memang belum menyelesaikan proyek dua waduk di daerah hulu. Proyek yang bertujuan mengurangi banjir kiriman ke Jakarta ini sebetulnya sudah berjalan. Dua waduk itu diproyeksikan selesai tahun ini karena pembebasan tanahnya sudah mencapai 90 persen.
Anies seharusnya tak hanya menggantungkan nasib Jakarta pada proyek pemerintah pusat. Strategi pengendalian banjir bukan cuma di hulu, tapi juga di tengah dan hilir. Di hilir pun perlu dibangun waduk. Lagi pula tidak semua banjir selalu disebabkan oleh faktor hulu. Curah hujan ekstrem terbukti bisa menenggelamkan sebagian wilayah Jakarta pada pagi hari, 1 Januari lalu. Saat itu, belum ada banjir kiriman dari Bogor karena luapan air dari hulu baru datang pada sore hari.
Pengendalian banjir merupakan proyek jangka panjang karena memerlukan infrastruktur yang dibangun secara bertahap. Jika Gubernur Anies tidak sudi meneruskan kebijakan sebelumnya, otomatis akan merusak strategi pengendalian banjir.
Kota-kota di negara maju sudah mengadopsi politik ekologi, mengaitkan strategi tata ruang dan pengendalian banjir dengan perubahan iklim. Kini Gubernur Anies masih sibuk membanggakan diri bahwa dalam banjir kali ini Bundaran Hotel Indonesia tidak terendam.
Masalahnya, bukan soal seberapa parah banjir sekarang dibanding dulu, tapi apa yang telah dilakukan pemerintah DKI dalam mengantisipasi banjir di masa mendatang. Besarnya banjir amat bergantung pada curah hujan dan perubahan iklim. Jika pemerintah DKI sekarang tidak berbuat apa-apa, kelak masyarakat juga yang menanggung akibatnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo