Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRESIDEN Joko Widodo sudah seharusnya menolak usul pembebasan narapidana kasus korupsi di tengah pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Tapi fakta bahwa Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly pernah mengusulkan hal tersebut patut disesalkan sekaligus diwaspadai.
Sulit untuk tak memandang usul Yasonna sebagai manuver para “penunggang gelap” wabah. Kepentingan para koruptor itu menyelinap di balik pengendalian Covid-19 di penjara-penjara dengan penghuni melebihi kapasitas. Lebih ironis lagi, usul itu juga sempat mendapat dukungan pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi pilihan Jokowi.
Kebijakan pemerintah mempercepat pembebasan narapidana umum yang uzur, masih anak-anak, atau tengah menjalani asimilasi sebetulnya sudah tepat. Penjara yang sangat padat dapat menjadi pusat penularan wabah dengan cepat. Sekali narapidana terjangkit Covid-19, akan sulit menekan laju penularannya. Itulah sebabnya, sejumlah negara yang dilanda pagebluk melakukan hal serupa.
Namun ikhtiar baik memerangi wabah tak boleh dicemari upaya lancung membebaskan koruptor. Narapidana korupsi sudah terlalu banyak mendapat perlakuan istimewa. Liputan majalah ini beberapa kali membongkar fasilitas mewah yang dinikmati koruptor di penjara. Berbeda dengan tahanan umum yang berjejal di balik sel sempit, sebagian koruptor menempati kamar lapang, lengkap dengan penyejuk udara dan fasilitas hiburan. Jadi, bagi koruptor yang sanggup membayar para sipir, urusan menjaga jarak fisik untuk menghindari virus corona bukanlah persoalan besar.
Berdalih membawa aspirasi masyarakat—entah masyarakat yang mana—Yasonna mengusulkan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012. Aturan tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak penghuni penjara itu selama ini menjadi momok bagi narapidana korupsi. Menurut aturan itu, narapidana korupsi hanya mungkin bebas bersyarat bila bersedia menjadi justice collaborator—bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar kejahatan, membayar lunas denda dan uang pengganti, serta telah menjalani dua pertiga masa hukuman.
Penegasan Jokowi bahwa pemerintah tak akan membebaskan koruptor di masa pandemi memang lumayan meredakan kontroversi. Tapi hal itu tak dengan sendirinya menunjukkan komitmen pemerintah atas pemberantasan korupsi. Sebab, di tengah berkecamuknya wabah, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat justru bersepakat melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan, yang juga kontroversial.
Dalam RUU Pemasyarakatan terbaru, pembebasan bersyarat hanya mengharuskan narapidana korupsi menjalani dua pertiga masa hukuman. Tak ada lagi syarat menjadi justice collaborator atau membayar lunas denda. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia juga bisa memberikan asimilasi kepada koruptor yang telah menjalani setengah masa tahanan. Syaratnya sangat umum: si narapidana mesti berkelakuan baik serta berjasa dan bermanfaat bagi negara.
Dari perspektif pemberantasan korupsi, pelonggaran syarat pembebasan koruptor dalam RUU Pemasyarakatan jelas merupakan kemunduran. Absennya syarat yang ketat menegasikan pandangan universal bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa. Kalau memang mau memerangi korupsi, Jokowi seharusnya menolak membahas RUU Pemasyarakatan yang bakal melonggarkan hukuman bagi koruptor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo