Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Antitesis Ekonomi Biru

Ekonomi biru tidak adil serta hanya mengeksploitasi sumber daya laut dan perikanan. Apa alternatif yang memihak masyarakat adat?

9 Mei 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ekonomi biru telah menghegemoni pembangunan kelautan di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

  • Ia terbukti tidak adil dan hanya mengeksploitasi sumber daya kelautan.

  • Muncul beberapa gagasan tandingan, termasuk ekonomi Nusantara.

Muhamad Karim
Dosen Universitas Trilogi Jakarta serta Peneliti Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Paradigma ekonomi biru kini telah menghegemoni pembangunan kelautan dan perikanan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Padahal ekonomi biru hanyalah instrumen baru ekonomi politik dan pembangunan berhaluan kapitalisme neoliberal. Ia dipergunakan untuk mengeksploitasi sumber daya kelautan dan perikanan, khususnya di negara-negara berkembang serta berbasis pulau-pulau kecil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di Indonesia ekonomi biru dimaknai sebagai ekonomi kelautan (ocean economy). Kementerian Kelautan dan Perikanan menerjemahkannya menjadi lima program utama, yakni perluasan kawasan konservasi laut; penangkapan ikan terukur berbasis kuota; pengembangan budi daya laut, pesisir, dan darat secara berkelanjutan; pengawasan dan pengendalian pesisir dan pulau-pulau kecil; serta pembersihan sampah plastik di laut.

Kebijakan ini memposisikan laut sebagai ruang pembangunan demi mengejar pertumbuhan ekonomi (Schutter, 2021), padahal pemaknaan ekonomi biru masih kontroversial karena perbedaan tafsir mengenai mata pencarian masyarakat, kepentingan bisnis, kesehatan ekosistem laut, dan modal alamiah (Cisneros-Montemayor et al., 2022). Di berbagai negara, ekonomi biru terbukti gagal menepati janjinya dalam mewujudkan keadilan sosial-ekonomi dan ekologi.

Secara genealogis, istilah “ekonomi biru” pertama kali dipopulerkan oleh fisikawan sekaligus pebisnis Gunter Pauli. Ide awalnya bersumber dari 100 inovasi teknologi terbaik dan ramah lingkungan serta efisien dalam memanfaatkan sumber daya yang bernilai kompetitif. Inovasi tersebut memanfaatkan sumber daya air, energi, konstruksi, dan proses produksi pangan masyarakat. Pada 2010, Pauli menerbitkan buku pertamanya, Blue Economy: 10 Years, 100 Innovations, 100 Million Jobs. Gagasannya diperkuat dengan buku keduanya, The Blue Economy 3.0: The Marriage of Science, Innovation and Entrepreneurship Creates a New Business Model That Transforms Society, yang terbit pada 2017.

Pauli (2010) mendefinisikan ekonomi biru sebagai “model bisnis” yang terinspirasi oleh alam lewat inovasi untuk memanfaatkan sumber daya dan produk limbah agar menciptakan 100 juta lapangan kerja hingga 2020, menghasilkan tambahan keuntungan bisnis (revenue), dan mencapai zero emisi dunia pada 2050. Model bisnisnya melibatkan dan memanfaatkan sistem jaringan bisnis internasional, investor, dan peneliti. Gagasan ekonomi biru ini diawali dengan mendirikan Blue Economy Institute (BEI) dan Blue Economy Alliance (BEA).

Konferensi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pembangunan Berkelanjutan di Rio de Janeiro, Brasil, pada 2012 mengadopsi ekonomi biru. Dalam perkembangannya, ekonomi biru menghegemoni dunia dan menjadi agenda lembaga keuangan internasional, seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), dan Dana Moneter Internasional (IMF), juga organisasi non-pemerintah internasional yang mempengaruhi kebijakan serta regulasi kelautan dan perikanan di berbagai negara.

Mereka menggelontorkan skema “utang biru” (blue finance) dan “surat utang biru” (blue bond) bagi negara-negara berkembang pemilik sumber daya kelautan. Sepanjang 2013-2017, total pembiayaan publik yang bersumber dari Green Climate Fund (GCF), Global Environmental Facility (GEF), serta Bank Dunia melonjak, dari US$ 500 juta menjadi US$ 2 miliar untuk mendukung konservasi laut dan aksi iklim (ROCA, 2019). Pada 2023, Indonesia pun memperoleh kucuran utang luar negeri dari Bank Dunia dalam skema ekonomi biru sebesar US$ 210 juta untuk pengelolaan sumber daya kelautan dan peningkatan mata pencarian masyarakat pesisir (Bank Dunia, 2023).

Dix (2021) mengkritik skema utang ala ekonomi biru ini sebagai "neokolonialisme biru". Masih menjadi tanda tanya besar apakah ekonomi biru telah mensejahterakan nelayan kecil, masyarakat adat, dan perempuan nelayan.

Di ranah global, ekonomi biru tak luput dari ragam kritik. Pertama, Brent et al. (2020) menilai esensi ekonomi biru mengandung makna tiga "fiksasi biru" (blue fixed) dengan dalih menyelesaikan krisis kapitalisme dunia, yaitu masalah konservasi, protein, serta energi dan ekstraktif. Brent, misalnya, mengkritik "fiksasi protein", yang lebih mementingkan perikanan dengan skala besar dan posisi terbaik, sedangkan perikanan berskala kecil malah tertindas.

Kedua, Said & MacMillan (2019) menemukan fakta teoretis dan empiris mengenai janji pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dari konvergensi kebijakan konservasi internasional lewat paradigma pertumbuhan biru (blue growth), yang mengalami kegagalan dan memproduksi ketidakadilan serta kesenjangan sosial-ekonomi dan ekologi perikanan pada komunitas nelayan lokal Malta. Awalnya, pemerintah Malta memuji dan mendewakan strategi pertumbuhan biru. Namun, belakangan, strategi itu malah mencekik dan meminggirkan nelayan berskala kecil karena ekonomi biru memprioritaskan korporasi besar.

Ketiga, praktik ekonomi biru memproduksi tiga dimensi ketidakadilan (Ertör, 2021), yakni dimensi material dan biofisik, dimensi spasial, serta dimensi kedaulatan. Ketidakadilan pada dimensi material dan biofisik terjadi akibat empat faktor, yaitu praktik penangkapan ikan oleh industri komersial, yang di Indonesia disebut sebagai kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota; pencemaran laut akibat aktivitas industri lepas pantai dan pesisir, seperti tumpahan minyak dan industri ekstraksi di pesisir; pertambangan dan ekstraksi sumber energi di pesisir; serta melonjaknya metabolisme sosial dan limbah lautan yang diproduksi budi daya laut intensif.

Ketidakadilan pada dimensi spasial terjadi akibat perebutan ruang laut melalui proyek investasi yang diputuskan secara atas-bawah dan tanpa mekanisme partisipasi publik yang egaliter. Ruang penangkapan ikan serta hidup nelayan berskala kecil kian terbatas sehingga mengalami perpindahan wilayah tangkapan dan dislokasi serta perampasan ruang hidup nelayan.

Ketidakadilan pada dimensi kedaulatan dan otonomi menentukan nasib sendiri disebabkan oleh lemahnya pengakuan hak-hak nelayan dengan skala kecil sebagai aktor utama yang menyediakan pangan protein laut serta kemampuannya mengatur hingga memutuskan jenis mata pencariannya sendiri sekaligus mempertahankan identitasnya. Dimensi ini juga menyangkut kedaulatan pangan (Levkoe, 2017).

Semua kritik tersebut mencerminkan bahwa ekonomi biru telah berubah menjadi “perampasan biru” (blue grabbing) dalam tata kelola kelautan global (Hajimichael, 2018).

Kuatnya hegemoni ekonomi biru telah melahirkan sejumlah antitesis. Pertama, degrowth biru, yang menganggap pertumbuhan biru (blue growth) sebagai ilusi (Ertör & Hadjimichael, 2020). Pendukung degrowth biru menganggap orientasi pertumbuhan biru gagal mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial serta gagal menjamin keberlanjutan sumber daya alam dan ekologinya. Mereka mengusulkan degrowth biru (menekan pertumbuhan) untuk menjamin kesehatan lingkungan laut sehingga tak mereproduksi ketidakadilan sosial-ekonomi dalam kelautan secara menyeluruh, khususnya bagi nelayan kecil.

Kedua, paradigma keadilan biru (blue justice), yaitu suatu "governability" (efektivitas pemerintahan) melalui mekanisme pengembangan kelembagaan yang bersifat transdisipliner (terintegrasi), partisipatif, dan holistik (Jentoft, 2022). Paradigma ini lahir karena praktik ekonomi biru justru melahirkan ketidakadilan, perampasan laut, hingga perampasan sumber daya ikan yang meminggirkan nelayan berskala kecil, masyarakat adat, dan perempuan.

Ketiga, ekonomi Nusantara dari Indonesia, yakni suatu model ekonomi alternatif yang melekat pada komunitas etnis dalam mengelola sumber daya alam kelautan. Ini sesuai dengan pemikiran Healy (2009) bahwa ekonomi alternatif merupakan proses produksi dan konsumsi yang berbeda dengan kegiatan ekonomi arus utama (kapitalis). Ekonomi alternatif itu merepresentasikan ruang sosial yang beragam dan proliferatif (memperbanyak bentuk yang sama). Aktivitasnya, antara lain, adalah ekonomi suku-suku penghuni awal (asli) dari suatu daerah diwariskan secara turun-temurun, khususnya di ranah kelautan dan perikanan, kreasi budaya masyarakat pesisir, serta sumber daya alam dalam komunitas etnis di wilayah pesisir dan pulau kecil (Ida, 2014; Damanhuri et al., 2023).

Damanhuri (2023) menyebutnya sebagai model "heterodoks", yakni konsep ekonomi yang keluar dari perspektif sosial-demokrasi ala Eropa dan neoliberalisme ala Amerika. Sembiring et al. (2021) menyebutnya sebagai praktik ekonomi komunitas lokal dari berbagai wilayah Indonesia yang memiliki riwayat kejayaan masa lalu dan berorientasi memulihkan krisis serta menekankan keselarasan dan kesatuan antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Esensi ekonomi Nusantara adalah keadilan dan kelestarian. Indikatornya adalah hubungan kejayaan masa lalu dengan kondisi masa kini, hubungan praktik ekonomi lokal dengan lanskap ekologis sekitar, integrasi praktik ekonomi dengan aspek sosial dan lingkungan< serta memiliki dimensi pemulihan kondisi sosial-ekologis (Walhi, 2021).

Gagasan ekonomi Nusantara ini mirip paradigma degrowth biru. Corvellec & Paulson (2023) memahaminya sebagai kombinasi praktik sosial resourcification dan deresourcification menuju transisi degrowth dalam pengelolaan sumber daya alam (resources shifting). Gagasan ekonomi Nusantara mesti terlembagakan dalam konstitusi yang memposisikan serta mengakui hak hidup dan alam memiliki "subyek hak" dalam tata kelolanya. Tujuannya adalah menjamin keseimbangan alam, mengurangi ketidakadilan sosial berbasis solidaritas dan kemajemukan berdemokrasi, serta memberikan ruang partisipasi sosial bagi masyarakat lokal/adat.



PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Muhamad Karim

Muhamad Karim

Dosen Universitas Trilogi Jakarta dan peneliti Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus