Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENGEJUTKAN juga keputusan Indonesia menolak bantuan Belanda dan membubarkan IGGI yang selama 25 tahun berfungsi sebagai konsorsium unik dalam bisnis pinjam meminjam antar pemerintah. Berbagai pihak menyambut keputusan tersebut dengan nada mendukung karena alasan yang berbeda-beda. Porsi komitmen Belanda dalam komitmen total kreditur yang bergabung dalam IGGI memang kecil. Kondisionalitas yang dikaitkan dengan porsi kecil itu dipandang sudah melewati batas kewajaran. Sepak terjang Tuan Pronk juga tidak sebanding dengan isi dompetnya dan belum tentu cocok dengan selera kreditur utama lain dalam IGGI. Di Indonesia, pelayanan utang luar negeri terasa sudah demikian berat hingga tuntutan kemandirian disuarakan oleh banyak pihak. Akankah keputusan yang mengejutkan ini menimbulkan beban ekstra yang kian memberatkan bagi ekonomi Indonesia? Harus diingat, ekonomi Indonesia sebelumnya juga sudah ada masalah dengan uang ketat, kredit macet, ancaman kebangkrutan perusahaan dan regulasi perdagangan dalam negeri di tengah ekonomi dunia yang lesu. Menurut jumlah, bantuan Belanda kecil. Taruhlah Belanda mungkin bisa mempengaruhi banyak anggota IGGI lain, tapi seluruh pinjaman itu akan tetap kecil dibanding yang mengalir dari tiga kreditur utama: Bank Dunia, Jepang, dan Bank Pembangunan Asia. Jika tiga kreditur utama ini plus Amerika Serikat dapat diyakinkan dengan cepat tentang pembentukan konsorsium alternatif pimpinan Bank Dunia, pinjaman pemerintah seperti direncanakan dalam APBN 1992-1993 kiranya akan dapat diperoleh tepat waktu dalam jumlah yang dibutuhkan. Namun harus tetap diingat bahwa Rp 1 pun adalah jumlah dari 100 x 1 sen. Di samping itu, soal pinjaman tidak pernah terpisah sepenuhnya dari soal lain. Adalah suatu ironi bahwa dalam masa yang disebut sebagai masa interdependensi, negara-negara industri kian gemar atau bahkan gegabah menggunakan sanksi ekonomi untuk mengejar tujuan-tujuan nonekonomik. Dunia sekarang hidup dengan sejumlah besar sanksi seperti itu, termasuk yang dikenakan atas Cina sesudah peristiwa Tiananmen, atas Myanmar sesudah penahanan pimpinan oposisi, dan sejak lama atas Afrika Selatan karena Apartheid. Alasan pokok di belakang sanksi atau perang ekonomi ini adalah untuk menyenangkan konstituensi dalam negeri yang memang berkepentingan untuk melihat bahwa uang pajak mereka yang disisihkan untuk bantuan luar negeri, dialokasi dengan bijaksana oleh pemerintahnya. Tapi kebanyakan sanksi ekonomi gagal mengubah posisi negara penerima pinjaman. Di negara yang mengenakan sanksi umumnya ada beda pendapat tentang kewajaran, efektifitas, dan manfaat sanksi ekonomi. Masyarakat Eropa di mana Belanda adalah anggota, misalnya, memilih memboikot impor asal Afrika Selatan hanya dalam hal produk tidak penting seperti batubara yang berlimpah di Eropa. Impor produk yang penting bagi industri Eropa, seperti emas dan berlian, justru dibiarkan. Reagan juga mencabut embargo gandum atas Uni Soviet dulu, ketika belum ada tanda-tanda bahwa penyerbuan Afghanistan akan diakhiri seperti dikehendaki Carter. Di dunia yang kian kecil ini, negara yang terkena sanksi makin dapat mempertahankan diri dalam perang ekonomi. Inilah kiranya yang dianggap remeh oleh Tuan Pronk dan kawan-kawannya ketika mengejar tujuan politik tertentu dengan senjata ekonomi kecil. Pertikaian karena persyaratan pinjaman luar negeri tampaknya akan kian sering dalam tahuntahun mendatang. Tidak satu pun negara kreditur memisahkan sepenuhnya pemberian pinjaman dari sikap dasar penerima dalam persoalan yang sedang dianggap penting oleh kreditur. Melalui pemegang sahamnya, Bank Dunia juga mengenakan persyaratan dalam pemberian kredit. Dengan kata lain, yang jadi perkara sebenarnya adalah persyaratan yang tidak wajar, yang pada gilirannya tergantung dari partai mana yang memerintah dan sentimen politik di negara kreditur dan debitur. Andaikata Pemerintah Sosialis yang kini memerintah di Jepang, maka kondisionalitas pinjaman asal negeri ini juga bisa sangat lain. Untuk beberapa tahun mendatang Indonesia akan masih membutuhkan pinjaman luar negeri, antara lain untuk dapat membayar bunga dan cicilan pinjaman lama. Karena itu, kasus Belanda-Indonesia sekarang perlu dipelajari lebih cermat untuk merumuskan syarat-syarat pinjaman asing yang kita anggap masih dalam batas kewajaran. Di samping itu, Indonesia memerlukan rumusan kebijakan yang lebih jelas tentang kemandirian dalam pendanaan pembangunan. Penguatan kemandirian dapat mengambil berbagai bentuk. Ia dapat berarti pergeseran dalam komposisi modal asing dari modal utang ke modal ekuitas. Pergeseran seperti ini akan mengurangi kerawanan terhadap kondisionalitas nonekonomis. Yang menjadi bottom line dalam modal ekuitas bukanlah hak asasi, melainkan kemampulabaan proyek. Kebetulan sentimen pasar modal dunia sekarang juga lebih ramah terhadap ekuitas daripada pinjaman negara. Jika pinjaman luar negeri dikurangi dan kenaikan modal ekuitas asing tidak dapat mengimbanginya, kenaikan tabungan dalam negeri dan ekspansi ekspor menjadi makin penting. Demikian juga halnya dengan perbaikan efisiensi alokasi sebagai sumber pertumbuhan. Kalau kita harus lebih selektif dalam pinjaman luar negeri pada waktu mengusahakan akselerasi pembangunan yang memungkinkan "tinggal landas", sumber alternatif pasti diperlukan. Karena itu, pengalaman dengan pinjaman asal Belanda harus dimanfaatkan sebagai momentum baru untuk melanjutkan penyesuaian kebijakan. Revitalisasi deregulasi dalam pertanian, industri, dan jasa seperti perdagangan dalam negeri, kebijakan uang ketat, kebijakan persaingan, dan pengembangan usaha kecil adalah terlalu penting untuk tertimbun karena penolakan bantuan Belanda. Makin lama pemecahan persoalan ini ditangguhkan, makin tergantung Indonesia pada pinjaman luar negeri dan karena itu, makin rawan terhadap kondisionalitas yang lewat batas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo