BERBAGAI upaya pembangunan, kemajuan, dan pengembangan ilmu dan teknologi, ternyata lebih diarahkan pada kepentingan produsen - dan sedikit sekali yang dengan sengaja memajukan kepentingan konsumen. Itu terasa aneh. Sebab, banyak contoh, dalam peristiwa ekonomi sehari-hari, yang memberikan kesan "memanjakan" konsumen dan "memusuhi" produsen. Misalnya, dalam kebijaksanaan beras di Indonesia sejak awal pemerintahan Orde Baru, penetapan beras sebagai bahan kebutuhan pokok nomor satu selalu berakibat pemanjaan konsumen. Tidak saja harga beras dibuat murah atau amat murah, tetapi juga pemerintah membentuk Kolognas dan kemudian Bulog untuk menjaga jangan sampai harga beras di kota-kota sempat naik melebihi tingkat yang bisa ditoleransi. Istilah yang sering dipakai: harga yang "terjangkau" konsumen. Juga setiap tahun, pada hari-hari Idulfitri dan Tahun Baru, pemerintah secara khusus menambah persediaan barang keperluan hidup konsumen, agar mereka bisa "tenang dan tenteram" dalam berhari raya. Tetapi teori ekonomi, khususnya ekonomi mikro, sering disebut teori harga atau teori alokasi sumber daya (resource allocation), yang memberi cara-cara meningkatkan efisiensi dalam alokasi sumber daya tersebut. Demikianlah teori ekonomi klasik dan neoklasik berkembang jauh memperjuangkan bekerjanya sistem pasar yang bebas, sehingga setiap produsen dapat memproduksi barang dan jasa dengan biaya semurah-murahnya, dan dengan itu perusahaan dapat memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Penekanan ongkos dan peningkatan keuntungan oleh produsen inilah ajaran efisiensi ekonomika. Teori ekonomi neoklasik yang menghasilkan sistem ekonomi kapitalis "ditentang", atau "dikoreksi", oleh teori ekonomi sosialis karena teori ekonomi neoklasik ortodoks terlalu menguntungkan si pemilik modal/kapitalis, dan berakibat menekan mitra kerjanya, yaitu buruh. Teori ekonomi sosialis inilah yang memberi angin kepada buruh, sehingga buruh sebagai mitra kerja perusahaan senantiasa menuntut bagian yang semakin besar dari hasil produksi dalam bentuk upah dan gaji yang lebih tinggi. Pengusaha yang tidak mau mengalah, dalam prinsip pengejaran keuntungan maksimum, bersedia memenuhi tuntutan kenaikan upah - tetapi tidak bersedia mengurangi bagiannya. Pengusaha, dengan alasan kenaikan upah, kemudian menaikkan harga jual. Dan yang selanjutnya menjadi korban adalah konsumen. Demikianlah, dalam dunia usaha memang terjadi proses tekan-menekan. Kelompok pengusaha berkumpul dalam bentuk asosiasi, dan buruh dalam bentuk persatuan buruh (labor union). Dan dalam proses peningkatan efisiensi yang diajarkan ekonomika, yang digarap adalah dua kelompok ini. Tetapi golongan pemakai hasil produksi, yaitu konsumen, tidak ada yang menggarapnya. Perekonomian, di mana pun, memang lebih efektif diatur untuk menaikkan harga dan ongkos demi keuntungan dan upah yang lebih tinggi ketimbang menurunkan harga atau penyediaan barang yang lebih banyak. Tidak selalu benar menyatakan bahwa dalam masyarakat terjadi persekongkolan oleh sekelompok kecil produsen yang sudah mapan untuk mengeksploitasi kelompok besar konsumen. Kita semua adalah produsen, dan kita semua juga konsumen. Tetapi kita semua diorganisasikan secara lebih efektif untuk "memperjuangkan" kepentingan kita sebagai produsen ketimbang sebagai konsumen. "Alhamdullilah, kita telah berhasil memergoki musuh yang kita cari-cari namun, tragisnya, musuh itu ternyata kita sendiri."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini