Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Jin dan Monyet

Bangsat tetap hidup sebagai kiasan. Seperti halnya jin buang anak, bangsat dipakai untuk memaki, setidaknya ucapan dalam konotasi negatif. Kiasan itu bisa sebagai ungkapan kebencian jika dilontarkan di tempat yang salah.

30 Januari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Putu Setia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jin kini ramai diperbincangkan. Jin tergolong makhluk, meski makhluk yang tak bisa dilihat dengan mata. Bukan celana atau jaket jin, misalnya. Ada jin jahat dan ada jin baik, bagi mereka yang percaya. Namun bukan jin jenis itu yang viral, melainkan jin buang anak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Makhluk apakah jin buang anak itu? Perdebatan belum selesai. Masalahnya, jika tiga kata itu digabungkan, tak lagi berupa makhluk. Namun sudah berupa kiasan yang artinya sesuatu yang jauh, kawasan tanpa penghuni yang masih semak belukar. Kiasan ini sudah populer pada 1960-an di Jakarta, ketika kawasan yang kini bernama Pondok Indah, Pamulang, Serpong, dan sekitarnya masih berupa hutan karet. Daerah itu kini menjadi kawasan elite, tak ada lagi jin membuang anaknya di sana.

Selain jin, Anda tentu akrab dengan monyet, anjing, dan bangsat. Ini semua makhluk hidup dan bisa dilihat dengan mata. Coba sekarang disurvei, seberapa banyak anak-anak milenial yang tahu apa itu bangsat? Tak banyak yang tahu bangsat itu tergolong hewan. Bangsat menurut kamus adalah kepinding atau kutu busuk yang pada 1960-an masih populer dan nama Latin-nya Cimex lectularius. Dengan banyaknya zat pembunuh serangga, bangsat pun menghilang.

Namun bangsat tetap hidup sebagai kiasan. Seperti halnya jin buang anak, bangsat dipakai untuk memaki, setidaknya ucapan dalam konotasi negatif. Kiasan itu bisa sebagai ungkapan kebencian jika dilontarkan di tempat yang salah. Sebagaimana orang memaki dengan sebutan monyet, bedebah, dan anjing (meski diperhalus menjadi asu), sangat menyakitkan.

Mau contoh? Promosi film Gundala karya Joko Anwar di stasiun televisi kena sanksi Komisi Penyiaran Indonesia karena ada dialog yang menyebutkan "bangsat". Peristiwa ini terjadi pada 2012. Ada contoh lebih baru. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Arteria Dahlan, menyebutkan Kementerian Agama sebagai “bangsat” dalam forum dengar pendapat antara Komisi III DPR dan Jaksa Agung M. Prasetyo pada Maret 2018. Arteria mengkritik tajam penyelenggaraan umrah yang tak bisa diselesaikan oleh Kementerian Agama. Tersinggung berat dengan bangsat itu, akhirnya Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin meminta Arteria minta maaf. Urusan tak berlanjut karena Arteria memenuhinya. Tidak seperti sekarang, Arteria dilaporkan ke polisi dalam kasus “melecehkan bahasa Sunda” meski dia sudah minta maaf.

Kata bangsat menjadi persoalan besar kalau itu diucapkan di tempat yang salah. Sementara itu, bagi penyair (almarhum) Darmanto Jatman, bangsat adalah sapaan akrab dan menjadi judul buku puisinya. Begitu pula dengan monyet sebagai kiasan. Ruhut Sitompul ketika masih menjadi anggota DPR pernah dijatuhi sanksi oleh Mahkamah Kehormatan Dewan karena menyebutkan “hak asasi monyet”. Tidak etis memang, seolah-olah manusia disamakan dengan monyet.

Sekarang menimpa Edy Mulyadi. Edy mengkritik tajam soal ibu kota negara yang akan dipindahkan ke Kalimantan Timur. Berbagai kata bernuansa negatif dilontarkan: jin buang anak, monyet, kuntilanak, dan entah apa lagi. Semua kiasan itu berupa ungkapan kebencian karena Edy menyebutkannya dalam forum resmi yang terbuka untuk umum. Bukan forum kecil senda gurau. Sebagai perbandingan, seniman Butet Kartaredjasa sering bergurau dengan “salam asu kabeh” atau budayawan Sudjiwo Tedjo yang selalu menyapa karibnya Cuk dari kata Jancuk. Ini merupakan sapaan akrab untuk komunitas mereka, seperti Darmanto Jatman menyapa dengan bangsat. Coba kalau disampaikan dalam forum resmi, masalah akan menjadi besar.

Intinya, mari kita pergunakan kiasan yang sesuai dengan situasi dan tempat di mana kita berada. Budaya Nusantara ini sangat beragam. Masing-masing budaya punya kekhasan dan kiasan tertentu. Kasus Edy Mulyadi menjadi pelajaran buat kita bagaimana sebaiknya menghormati budaya dan tata krama yang luhur.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Putu Setia

Putu Setia

Penulis tinggal di Bali. Mantan wartawan Tempo yang menjadi pendeta Hindu dengan nama Mpu Jaya Prema

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus