Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Esther Roseline
Certified Fraud Examiner
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gerakan digitalisasi makin luas di mana-mana, termasuk di Indonesia. Lembaga pemerintahan, lembaga keuangan, hingga institusi bisnis dari skala mikro sampai besar mulai menerapkan digitalisasi di berbagai lini. Aneka proses yang tadinya berjalan secara konvensional, seperti verifikasi dan transaksi data, makin banyak yang diproses menggunakan sistem komputer. Digitalisasi diterapkan di berbagai sektor dengan harapan dapat meminimalkan risiko korupsi atau manipulasi data, sekaligus meningkatkan efisiensi proses bisnis sebuah lembaga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk menekan risiko penyalahgunaan data dan penipuan dalam proses digitalisasi, pemanfaatan teknologi dan program anti-fraud pun terus meningkat. Anti-Fraud Technology Benchmarking Report (ACFE) melaporkan setidaknya 60 persen organisasi di seluruh dunia berkomitmen meningkatkan anggaran teknologi anti-fraud dalam kurun waktu dua tahun terakhir. Teknologi akhirnya menjadi tumpuan harapan komunitas seluruh dunia untuk mencapai masyarakat yang berintegritas, bebas dari fraud dan korupsi.
Akan tetapi terdapat sejumlah kasus yang muncul akibat penggunaan sistem anti-fraud berbasis teknologi informasi. Skandal UK Post Office Horizon, misalnya, yang dianggap sebagai the widest miscarriage of justice in the UK history—ketidakadilan terbesar sepanjang sejarah Britania Raya. Dalam kasus yang terjadi sepanjang 2009-2015 ini, setidaknya 900 pekerja Kantor Pos Britania Raya dituduh, didakwa, dan dipenjara atas dasar dugaan fraud yang muncul akibat penggunaan perangkat lunak Horizon buatan Fujitsu.
Sebetulnya perangkat lunak ini digunakan untuk mengurangi risiko penipuan keuangan dengan menerapkan proses automasi akuntansi, menggantikan praktik tradisional. Namun Horizon menghasilkan informasi keliru yang membuat para pekerja seakan-akan menggelapkan dan mencuri uang. Sayangnya, akibat minimnya pemahaman para pekerja akan sistem yang kompleks, mereka tak mampu membela diri. Tak sedikit dari mereka yang dituduh melakukan penggelapan mengakhiri hidupnya.
Di Australia, skandal serupa menimpa ratusan ribu orang akibat sebuah teknologi yang diimplementasikan oleh pemerintah setempat pada 2015. Dalam kasus yang dikenal dengan sebutan Robodebt Scheme ini, pemerintah menggunakan algoritma dan program komputer untuk mempermudah identifikasi kelebihan pembayaran kepada masyarakat penerima bantuan pemerintah.
Akan tetapi, akibat algoritma yang bermasalah, 400 ribu orang dianggap memiliki utang kepada pemerintah dengan nominal mencapai puluhan ribu dolar Australia. Hal ini membuat ribuan orang jatuh miskin. Sama seperti kasus di Inggris, beberapa orang memilih mengakhiri hidupnya. Pemerintah Australia, yang menyadari persoalan ini belakangan, mengakui skandal tersebut sebagai tragedi kemanusiaan yang sangat mahal harganya.
Risiko Penggunaan Teknologi
Tragedi di atas bukanlah dongeng. Jatuhnya nyawa banyak orang tak bersalah selayaknya memaksa para ahli dan pegiat anti-fraud untuk mempertimbangkan ulang penggunaan perangkat lunak untuk mencegah dan mendeteksi fraud secara rigid. Meski punya banyak kelebihan, teknologi digital juga menyimpan beberapa karakteristik: sistemnya tertutup, tersentralisasi, dan impersonal. Penggunaan teknologi akhirnya mengkerdilkan proses-proses yang dulu dilakukan secara tradisional.
Karakteristik tertutup itu disebabkan oleh tak banyak orang yang mampu memahami bagaimana sebuah sistem dibuat, dijalankan, dimonitor, dan dikendalikan. Demikian pula tak semua orang tahu titik lemah dan tingkat akurasi sebuah sistem. Meski dalam sebuah sistem teknologi setiap orang dapat menyumbang data, penyimpanan dan pemrosesannya dilakukan pada sebuah pusat data tersentralisasi. Sementara itu, sifat impersonal pada sebuah teknologi muncul karena pada dasarnya komputer hanya mengerti angka “0” dan “1”. Teknologi tak akan mampu menangkap konteks, sentimen, dan motivasi secara spesifik. Sifat inilah yang berpotensi mereduksi kompleksitas perilaku manusia menjadi hanya sebuah data tak bernyawa.
Dengan berbagai karakteristik tersebut, masalah yang timbul dari penggunaan sebuah sistem—seperti pada kasus di Inggris serta Australia—dapat menghasilkan informasi yang tak akurat dan malah menjerat orang-orang tak bersalah dengan mengabaikan asas praduga tak bersalah. Pada dasarnya teknologi tidak 100 persen sempurna. Ketika teknologi digunakan untuk melakukan pendeteksian, pengawasan, dan pengambilan keputusan yang berdampak langsung pada manusia, setiap bentuk ketidakakuratan dapat berdampak fatal. Karena itu, penerapan sebuah sistem tetap harus dibarengi dengan penerapan prinsip-prinsip etika, keterbukaan, transparansi, dan akuntabilitas.
Berbagai prinsip itu penting untuk memastikan berjalannya sistem checks and balances. Prinsip-prinsip itu harus diterapkan dalam setiap proses yang dilakukan, terutama dalam hal pengambilan keputusan berdasarkan analisis yang dihasilkan sistem. Selain itu, perlu ada partisipasi aktif berbagai pihak, seperti auditor, dan penguatan sistem whistleblower. Pihak-pihak yang menggunakan dan berhubungan dengan sistem anti-fraud pun harus mendapat pengetahuan mengenai logika serta cara kerja teknologi yang digunakan. Hal yang tak kalah penting adalah komitmen para pengambil keputusan di setiap organisasi untuk mau mengakui kesalahan jika terjadi masalah akibat sistem yang digunakan dan memperbaikinya.
Tak selayaknya penggunaan teknologi dan sebuah sistem digital merampas kedaulatan, kecerdasan, dan intuisi manusia dalam menilai sebuah kasus secara adil. Setidaknya, mencegah lebih baik daripada mengobati. Skandal-skandal tragis di Inggris dan Australia selayaknya menjadi peringatan bahwa setiap sistem dan teknologi perlu secara konsisten divalidasi secara skeptis. Dengan demikian, sistem yang digunakan tetap akuntabel dan memenuhi harapan setiap pemangku kepentingan, termasuk masyarakat luas.