Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Etos Pembaruan Muhammadiyah

Dalam suatu kesempatan, Mitsuo Nakamura, antropolog yang sangat serius meneliti gerakan Muhammadiyah

15 Februari 2019 | 07.20 WIB

Etos Pembaruan Muhammadiyah
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Moh. Shofan
Direktur Riset Maarif Institute

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Dalam suatu kesempatan, Mitsuo Nakamura, antropolog yang sangat serius meneliti gerakan Muhammadiyah, pernah mengatakan bahwa masalah yang akan dihadapi Muhammadiyah setelah satu abad sangatlah besar dan mendalam. Muhammadiyah, kata dia, tak boleh redup dan harus terus memberikan pencerahan bagi bangsa. Untuk tujuan itu, diperlukan energi dan pemikiran yang sungguh-sungguh dan mendalam. Hal yang sama pernah disampaikan oleh Nurcholish Madjid atau Cak Nur, bahwa Muhammadiyah dapat terancam menjadi tawanan dari bayangan keberhasilan dirinya pada masa lampau karena rasa puas diri (complacency) yang biasanya menjadi pangkal konservatisme dan kebekuan (jumud) (Madjid, 1997: 107-108).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Peringatan mereka bukan perkara main-main dan perlu mendapat perhatian dari semua kalangan, khususnya warga Muhammadiyah. Organisasi yang dikenal sebagai pembaru yang mengawal gerakan keilmuan ini belakangan kurang berfungsi secara maksimal. Awal ideologisasi ke arah anti-progresivisme mulai bersemi melalui Majelis Tarjih, yang kemudian menjelma sebagai "otoritas keagamaan".

Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah penelitian menunjukkan bahwa arah gerakan Muhammadiyah masih belum menyentuh persoalan sosial yang dihadapi bangsa ini. Penelitian Pradana Boy, "In Defence of Pure Islam: The Conservative-Progressive Debate within Muhammadiyah", menjelaskan bahwa penolakan ide-ide kemajuan, seperti pluralisme, terjadi hampir di semua kalangan Muhammadiyah. Pluralisme hanyalah salah satu contoh saat Muhammadiyah menunjukkan resistensinya.

Studi ini diperkuat dengan penelitian Biyanto, yang menemukan dua varian pemikiran dan sikap kaum muda Muhammadiyah terhadap wacana pluralisme agama, baik yang menerima maupun yang menolak gagasan tersebut. Penelitian "Sikap Politik Muhammadiyah Era Presiden Jokowi" oleh Zuly Qodir, seorang intelektual Muhammadiyah, menjelaskan bahwa warga Muhammadiyah dari Surakarta, Yogyakarta, Padang, dan Bandung termasuk penyumbang terbesar pasukan Aksi Super Damai 2 Desember 2016 di Jakarta. Jumlahnya mencapai puluhan ribu. Padahal Pengurus Pusat Muhammadiyah telah memberikan edaran bahwa kader Muhammadiyah tak perlu melakukan demo lagi karena masih banyak masalah bangsa yang harus diselesaikan.

Jargon di Muhammadiyah, al-ruju’ ila al-Qur’an wa al-sunnah, membawa semangat literalis-skripturalis yang dipahami secara verbal dan formal. Dia diaktualisasikan dengan menyerukan keutamaan Islam periode awal dan menegaskan ketidaksahan penafsiran dan praktik-praktik keagamaan masa kini. Ortodoksi inilah yang menyebabkan intellectual exercise menjadi tertutup.

Namun istilah "kemajuan" dan "berkemajuan" melekat dalam pergerakan Muhammadiyah sejak awal berdiri. Model tafsir surat Al-Ma’un yang diajarkan KH Ahmad Dahlan kepada murid-muridnya mengandaikan bagaimana pemahaman rasional itu menjadi perbuatan penuh maslahat sekaligus karya kemanusiaan dan peradaban berkemajuan.

Muktamar Muhammadiyah ke-37 pada 1968 telah mengupas karakter masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Di antara sembilan ciri masyarakat Islam yang sebenar-benarnya itu ialah "masyarakat berkemajuan", yang ditandai oleh: (a) Masyarakat Islam ialah masyarakat yang maju dan dinamis, serta dapat menjadi contoh; (b) Masyarakat Islam membina semua sektor kehidupan secara serempak dan teratur/terkoordinasi; (c) Dalam pelaksanaannya masyarakat itu mengenal penahapan dan pembagian pekerjaan (Haedar Nashir, 2010).

Muhammadiyah perlu menelaah dan menafsir ulang kajian para ulama dan cendekiawan tentang Islam berkemajuan sesuai dengan tuntutan persoalan-persoalan masyarakat Indonesia dewasa ini. Gagasan Islam berkemajuan dapat ditransformasikan dalam proses menuju Indonesia berkemajuan jika didukung gerakan pemikiran dan peradaban serta dipadukan dengan amal nyata melalui pemberdayaan institusi yang efektif dan dinamis. Islam berkemajuan mencerminkan pentingnya transformasi pemahaman dogmatis menuju pemahaman kritis-transformatif yang kon-tekstual.

Tanwir Muhammadiyah pada 15-17 Februari 2019 di Bengkulu nanti mengangkat tema "Beragama yang Mencerahkan". Perhelatan ini harus mampu memberikan perspektif baru. Kiranya pemilihan tema tersebut tentu tidak luput dari adanya gejala bagaimana agama sering kali dijadikan instrumen kekuasaan, alat memecah belah, dan komodifikasi politik. Tak bisa dimungkiri, pada tahun politik ini, ada arus yang ingin menggiring Muhammadiyah secara kelembagaan ke arah calon tertentu. Semestinya, dengan anggotanya yang besar, Muhammadiyah bisa menjadi pendorong kekuatan politik, moral, ekonomi, dan kebudayaan.

Melalui tanwir, Muhammadiyah harus menghasilkan pemikiran-pemikiran baru yang autentik dan cerdas mengenai berbagai persoalan, seperti dakwah, kepemimpinan, pendidikan, pemberdayaan masyarakat, filantropisme, dan isu gender. Paham Islam yang diajarkan Kiai Dahlan, yang bukan hanya pemurnian, melainkan juga pembaruan, tidak semata autentik, tapi juga dinamis, harus menjadi spirit dalam mengawal perubahan zaman.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus