Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Euforia Coldplay

Jawabannya tentu tak sekadar menikmati lagu. Yang dicari adalah euforia bersama. Suasana yang harganya tak bisa dinilai.

21 Mei 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berburu tiket menonton grup musik Coldplay menjadi perjuangan heroik bagi sejumlah orang. Bukan saja bagi mereka yang berlimpah harta, tapi hal ini juga dilakukan orang yang hidupnya pas-pasan. Mereka rela menjual kulkas dan sepeda motornya untuk hadir dalam konser Coldplay yang akan manggung enam bulan lagi di Jakarta. Kurang dari 10 menit saat penjualan dibuka secara online, tiket sudah habis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Apa sebenarnya yang dicari pemburu tiket ini? Apakah semata-mata ingin mendengarkan lagu Coldplay? Kenapa tidak memutar saja video konser Coldplay di rumah? Malah bisa dinikmati secara utuh. Saat menonton dengan ribuan orang berjingkrak dan bahkan sebagian besar penonton ikut menyanyi, bagaimana cara menikmati lagu? Padahal harga tiketnya jutaan rupiah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jawabannya tentu tak sekadar menikmati lagu. Yang dicari adalah euforia bersama. Suasana yang harganya tak bisa dinilai. Menonton langsung konser Coldplay, grup musik asal Inggris yang begitu ramai diberitakan media, seolah-olah pertanda bahwa kita sudah menciptakan sejarah dalam hidup: “Aku pernah ada bersama mereka.”

Euforia yang nyaris menjadi kegilaan semacam ini tak hanya terjadi pada konser musik. Dalam skala yang lebih kecil, kegilaan itu juga ada pada sektor lain, sebut saja fanatisme terhadap klub-klub sepak bola. Pernah ada berita, seorang lelaki memboncengkan istrinya dengan sepeda motor dari Tegal menuju Surabaya hanya untuk menonton pertandingan Persebaya melawan PSIS Semarang. Sang istri menggendong bayinya yang berusia 6 bulan. Belum sampai di Surabaya, sang bayi meninggal.

Ini merupakan bentuk kegilaan pada klub yang tanpa nalar. Sang ayah yang gila bola dan fanatik klub bukannya mau menonton pertandingan, sesuatu yang dengan mudah bisa ditontonnya di televisi. Dia ingin mengukir sejarah hidupnya bahwa dia berada di stadion ketika klubnya menang. Dia bangga jika teriakannya menyatu dengan kemenangan itu.

Kita harus berhati-hati mencemooh sang ayah yang gila bola itu, meskipun kita bisa nasihati bagaimana memperhatikan kondisi. Ada batasan yang harus diperhatikan dalam menyalurkan nafsu untuk euforia. Begitu pun pemburu tiket konser Coldplay, kita tak bisa mengecamnya sebagai orang yang berfoya-foya di tengah jutaan orang yang masih hidup miskin.

Ada ibu-ibu yang berteriak lega karena berhasil mendapatkan tiket konser Coldplay yang harganya Rp 11 juta. Hal itu ditayangkan di televisi. Lalu, dalam tayangan lain, ada ibu-ibu yang menangis karena anaknya tidak bisa sarapan sebelum ulangan umum di sekolahnya. Tak ada beras di rumah itu. Dua hal ini tak perlu dibenturkan. Apalagi untuk alasan menolak kedatangan Coldplay dengan dalih: “Jangan berfoya-foya di tengah kemiskinan yang masih terjadi.”

Kita bisa mengajak bagaimana mendidik warga untuk berempati pada kemiskinan. Bisa mengingatkan pemerintah bahwa kehidupan sosial di masyarakat masih banyak ketimpangan. Namun ada ruang-ruang tertentu yang harus disisakan buat menyalurkan rasa sumpek dan jenuh sekelompok orang. Menyanyi bersama saat konser, berteriak bersama saat laga sepak bola, ini sekadar contoh. 

Jadi, perlukah Coldplay ditolak sebagaimana dulu menolak kedatangan Lady Gaga pada 2012?

Konser Coldplay berlangsung pada 15 November, saat calon presiden dan calon wakil presiden didaftarkan partai politik. Saat itu juga menjelang kampanye yang pasti menghadirkan massa lebih riuh. Konser ini justru menjadi pelampiasan terakhir massa yang tidak terkait dengan politik—sepanjang tidak ada partai yang menunggangi keadaan.

Hal yang luput dari perhatian kita adalah pemerintah mendapatkan pajak yang besar dari konser ini. Dari tiket saja, dipastikan Rp 19 miliar lebih besaran pajak konser itu. Belum lagi dampak ekonomi dari penuhnya hotel di Jakarta dan rezeki pada pedagang. Andai semua pajak itu dikembalikan untuk rakyat miskin, yang tidak memburu tiket Coldplay, kita bisa berlapang dada menerima pemusik Inggris ini. Mereka hanya menyanyi, tidak ada tujuan lain, semestinya aman.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus