Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NABI Muhammad memang tidak pernah meniup trompet di malam pergantian tahun Masehi. Tapi apa perlunya Majelis Ulama Indonesia Balikpapan, pekan yang lalu, mengeluarkan fatwa khusus untuk melarang ulama dan ustad meniupnya? Jika alasannya sebelumnya ada ulama yang pernah meniup mainan anak-anak itu di malam Tahun Baru, dan ini dianggap tidak sesuai dengan tradisi Islam, seharusnya hal itu cukup disampaikan kepada sang ulama. Sebuah fatwa, seringan apa pun, tetaplah menunjukkan sesuatu yang serius, hitam-putih, seakan membedakan sesuatu yang haram dan halal, membedakan yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
Perayaan tahun baru Masehi memang tidak dilakukan Nabi, juga bukan merupakan tradisi Islam, tapi betapa sia-sianya sebuah fatwa hanya untuk hal yang sepele begitu. Jika ulama dan ustad, yang menjadi sasaran fatwa, tergoda untuk menyampaikan kepada umatnya bahwa meniup trompet itu tidak Islami, umat kebanyakan akan mengartikan itu sebagai larangan. Dan itu artinya "bencana" untuk para penjual trompet, yang pastilah kebanyakan beragama Islam.
Katakanlah kerugian ekonomi di sini juga tidak relevan dipersoalkan, tapi peristiwa ini menunjukkan satu hal yang penting bagi kita: fatwa-fatwa MUI belum menyentuh akar persoalan bangsa ini. Sejauh ini, lembaga yang diprakarsai berdirinya oleh Presiden Soeharto pada 1975 itu belum pernah mengeluarkan fatwa tentang korupsi, kolusi, manipulasi, atau penyalahgunaan kekuasaan, yang jelas-jelas bertentangan dengan Islam.
MUI pastilah paham bahwa kejahatan orang yang melakukan korupsi bukan saja dihitung ketika dia mengkorup sebuah proyek atau menggelapkan sejumlah uang, tapi juga akibat buruk yang ditimbulkannya. Ketika sebatang pohon dicuri dan ditebang, si pencuri tidak hanya diganjar sebatas harga sepotong kayu, tapi banjir atau bencana longsor yang diakibatkannya?menurut ajaran Islam?juga "dibebankan" kepada pelaku penebangan tadi.
Hukum agama soal mencuri, korupsi, dan sejenisnya itu sesungguhnya sudah jelas, yaitu haram. Para pemuka MUI pasti bisa mengatakan bahwa MUI tak perlu mengeluarkan fatwa bagi hal yang sudah "terang-benderang" itu. Ini bukan pendapat yang salah. Tapi akankah MUI duduk berpangku tangan ketika hal-hal haram yang sudah jelas itu terus-menerus dilanggar dengan sengaja oleh sebagian pelaku korupsi yang beragama Islam? Tidak adakah upaya MUI untuk ikut memerangi penyakit kronis yang menyebabkan kemiskinan dan kebodohan umat yang merupakan musuh utama Islam itu?
Dalam bahasa Kiai Haji Sahal Mahfudz, Ketua MUI Jawa Tengah, seharusnya MUI berupaya agar fatwa yang dihasilkan "lebih memperhatikan kemaslahatan umat." Dan bukan fatwa-fatwa yang mubazir atau bahkan memihak penguasa. MUI pernah melarang lagu Takdir dinyanyikan oleh Desy Ratnasari. MUI juga pernah mengalami "masa-masa gelap" dan dicap sebagai corong pemerintahan Soeharto. Kita masih ingat pula ketika menjelang Sidang Umum MPR 1997, MUI mendukung pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden. Bahkan, ironisnya, Ketua Umum MUI kala itu ikut-ikutan berpolitik praktis dengan bersedia menjadi juru kampanye Golongan Karya pada Pemilu 1997.
Dalam zaman yang lebih normal ini, MUI seharusnya kembali kepada peran semula: sebagai jembatan antara umat dan pemerintah. Dalam posisi begitu, seharusnya MUI bisa lebih baik mengatur prioritas untuk mengkaji persoalan penting bangsa. Misalnya, mana yang lebih penting, membentuk tim investigasi bom Bali atau mengeluarkan fatwa bahwa Islam antikekerasan, antibom, apalagi bom bunuh diri. Lebih baik MUI mengkaji hukumnya pejabat yang suka berdusta, menyembunyikan kekayaan, atau tetap ngotot memimpin walaupun sudah divonis bersalah dalam kasus korupsi.
Itu jauh-jauh lebih penting ketimbang soal trompet di malam tahun baru. Lagi pula, seandainya Nabi Muhammad masih ada, dan dia melihat umatnya yang miskin berdingin-dingin menjual trompet, mungkin dia akan membolehkan umatnya membeli dan meniup trompet semalam itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo